KKN DALAM AJARAN ISLAM
Pada saat sekarang ini, bangsa Indonesia tengah mengalami krisis moneter dan krisis ekonomi berkepanjangan yang salah satunya disebabkan oleh praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah sejak dari tingkat desa hingga tingkat nasional. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan maraknya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah karena lemahnya iman dan penghayatan para pejabat negara terhadap ajaran-ajaran agama, serta ketidak-mengertian mereka tentang hukum Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Untuk menghentikan praktek KKN di kalangan pejabat pemerintah dan masyarakat luas, MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan tentang hukum korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta cara memberantasnya, sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi etimologi, korupsi berasal dari bahasa Inggris corruption yang berasal dari akar kata corrupt yang berarti jahat, buruk, dan rusak. Sedangkan menurut istilah, korupsi didefinisikan sebagai berikut: -
a. Menurut Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption, korupsi adalah, "Tingkah laku menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan demi keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi, kerabat atau kroni".
b. Korupsi adalah perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya dengan tujuan untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Karena akibatnya yang merugikan itu, maka korupsi digolongkan sebagai tindak pidana.
c. Korupsi adalah suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Sebagai balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah berupa kelonggaran aturan yang semestinya diterapkan secara ketat.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa korupsi dalam perspektif ajaran Islam adalah identik dengan risywah, ghulul, dan at-tajawuz fi isti'mal al-haqq, serta termasuk salah satu bentuk dari sikap khianat yang diharamkan oleh Allah SWT karena korupsi berdampak negatif dan sangat merugikan masyarakat luas. Di antaranya adalah: -
a. Merusak akhlak dan moral bangsa
b. Mengacaukan sistem perekonomian dan hukum
c. Menggerogoti kesejahteraan rakyat dan menghambat pelaksanaan pembangunan.
d. Merugikan dan bahkan menimbulkan dlarar (bahaya) bagi orang lain
e. Menyebabkan hilangnya berkah dari Allah SWT
f. Menyebabkan siksa neraka.
Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW :
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ (رواه البيهقي
Artinya:
Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (makanan & minuman) yang haram, maka lebih berhak masuk ke dalam neraka.
g. Anak-anak yang diberi makan dan minum dari hasil korupsi, susah dididik menjadi anak yang shaleh, yang mau beribadah kepada Allah SWT serta berbakti kepada kedua orang tua. Anak-anak seperti itu, cenderung mengabaikan ajaran agama, menentang orang tua, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, mempraktekkan kehidupan free sex, suka tawuran, dan melakukan berbagai kejahatan yang lain. Hal ini tidak lain karena mereka dibesarkan dari makanan dan minuman yang dibeli dengan uang hasil korupsi yang secara tegas dilarang oleh Allah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa' ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ(29)النساء
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. An-Nisa', 4: 29.
2. Jenis dan kategori korupsi adalah sebagai berikut:
a. Penyalah-gunaan wewenang
b. Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1). Pengeluaran fiktif
2). Manipulasi harga pembelian atau kontrak
3). Penggelapan dana atau pencurian langsung darikas.
Ada lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber praktek korupsi, yaitu: -
1). Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang.Hal ini menyangkut harga, kualitas, dan komisi.
2). Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan administratif.
3). Perpajakan, yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan pajak.
4). Pemberian izin usaha, dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.
5). Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemberian imbalan di luar kontrak yang telah disepakati karena kita menyetujui pembelian atau pengadaan barang (kantor) dengan harga di atas harga yang wajar adalah termasuk korupsi yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena hal itu termasuk manipulasi harga pembelian atau kontrak.
Sedangkan karyawan yang datang terlambat atau pulang lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan, dalam istilah yang populer tidak termasuk dalam kategori korupsi karena tidak berupa penyalah-gunaan wewenang atau penyelewengan dana. Sungguh pun demikian, hal itu termasuk perbuatan yang tidak baik karena melanggar disiplin dan mengurangi produktivitas kerja sehingga merugikan pihak lain.
3. Kolusi, ditinjau dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris collusion yang berarti persekongkolan atau kongkalikong.Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, bangsa atau negara.
4.Nepotisme berasal dari bahasa Perancis nepote yang berarti keponakan. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menjelaskan praktek favoritisme yang dilakukan oleh pimpinan Gereja Katolik Romawi (Paus dan para Kardinal) pada abad pertengahan, yang memberikan jabatan-jabatan kepada sanak, famili, keponakan atau orang-orang yang mereka sukai.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka Nepotisme dapat didefinisikan sebagai berikut: “Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan seorang pemimpin yang lebih mendahulukan keluarga dan sanak famili dalam mem-berikan jabatan dan yang lain, baik dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam manajemen perusahaan swasta.
5. Pada umumnya, manusia mempunyai ikatan jiwa yang lebih kuat dengan keluarga dan sanak famili dibanding dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori 'ashobiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang pemimpin pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga atau orang yang disenanginya serta lebih mementingkan dan mengutamakan mereka dalam segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak mempunyai ikatan apa-apa. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: -
a. Pada umumnya, kerabat memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan orang lain.
b. Pada umumnya, keluarga lebih mudah fit in dibanding non keluarga.
c. Pada umumnya keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain.
d. Pada umumnya keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.
e. Pada umumnya keluarga lebih mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif dibandingkan dengan orang lain.
f. Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab dengan baik, maka akan mendorong semangat kerja orang lain.
Sepanjang keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai kemampuan dan profesionalisme serta bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, maka tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Permasalahannya adalah, bagaimana jika keluarga atau famili atau orang lain yang disenanginya itu tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya?
Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan -apalagi jabatan yang sangat strategis-kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan, padahal yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, atau ada orang lain yang lebih berhak dari padanya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam hadits shahih riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنْ عِصَابَةٍ وَفِيْ تِلْكَ اْلعِصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى لِلهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ اْلمُؤْمِنِيْنَ (رواه الحاكم
"Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepadaAllah, Rasulullah dan orang-orang yang beriman".
6. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau sanak famili dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun nepotisme yang disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang. Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis adalah merupakan sumber hukum yang sangat penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, al-qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi saw. adalah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua.[1] Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr : 7 ;
“ Apa yang di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.[2] [3]
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam ajaran Islam, di samping harus berpegang teguh pada al-Qur’an juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi Saw. Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah menginformasikan kepada umatnya bahwa, di samping al-Qur’an masih terdapat satu pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an, yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan:
“ Wahai Umatku, sungguh aku telah di beri al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Turmuziy ).[4]
Jadi tidak di ragukan lagi bahwa yang di maksud dengan “menyamai” atau semisal al-Qur’an dalam matan hadis di atas adalah hadis Nabi saw. Mengingat peran hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya penelitian yang mendalam sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian, keotentikan, dan kesahihannya. Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi keotentikannya dapat di pertanggung jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Langkah penelitian terhadap kualitas hadis menjadi sangat penting, mengingat bahwa latar belakang sejarah penghimpunan hadis baru terjadi pada akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Azis yang memerintah sekitar tahun 717-720 M.[5]
Dengan melihat jauhnya jarak antara masa kehidupan Nabi saw. dengan masa perhimpunan hadis-hadis tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan terhadap matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis menjadi berbagai macam bentuknya, ada yang di anggap sahih, hasan maupun da’if. Perlu di jelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan adalah merupakan pecahan dari kualitas hadis da’if yang di pergunakan sebelum masanya al-Turmuziy.[6]
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis yang di pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai macam. Apakah hadis –hadis yang di jadikan sebagai landasan hukum tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun da’if. Oleh karena itu untuk menggunakan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau da’if, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis di maksud benar-benar berasal dari Nabi saw. sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di pertanggung jawabkan kevaliditasannya.
PEMBAHASAN SANAD DAN MATAN HADIS TENTANG LARANGAN MENERIMA HADIAH BAGI PARA PEJABAT
Klasifikasi Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Takhrij al- Hadis
Kata takhrij yang sering di artikan sebagai : al-Istimbat ( mengeluarkan dari sumbernya), al- Tadrib ( latihan ), dan al-Tawjih (pengarahan),[7] ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumber asli dari hadis, yang di dalamnya di kemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan. Kemudian guna kepentingan penelitian, maka akan di jelaskan hingga kualitas hadis yang di jadikan obyek penelitian.
Adapun metode takhrij al-Hadis yang akan di pergunakan dalam menelusuri hadis-hadis tentang : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat, adalah terdapat dua macam metode, yakni : (1) Metode takhrij melalui lafal-lafal yang terdapat dalam hadis (takhrij al- hadis bi alfaz), yaitu adanya upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis dengan cara menulusuri matan hadis yang bersangkutan.[8] (2) Dengan metode takhrij melalui tema hadis (tematik) (takhrij al-hadis bi al-mawdu’), yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang di bahas dalam sejumlah matan hadis.[9]
Untuk penggunaan metode yang pertama, penulis merujuk pada kamus hadis al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawiy, dan untuk metode yang ke dua penulis merujuk kepada kitab : Miftah Kunuz al-Sunnah, yang keduanya di susun oleh Arnold John Wensinck (w.1939 M.) dan J.P. Mensing.
Jika di tempuh melalui metode lafal dari berbagai riwayat yang terkait dengan matan hadis tentang larangan menerima hadiah bagi pejabat, di temukan di dalamnya beberapa kata kunci, seperti : ? ????? ?? ??? – ? ??? - ??????? , sedangkan jika di tempuh dengan metode tematik , maka berbagai riwayat hadis yang di cari di temukan pada topik : ?????? ?? ??? ( ??? ?????? ) – ?? ? ?? ?????? ??? ??? ? ?? ???? ????????????? – ?? ? ???? ???? ? ???? ?? ??? ??[10] , dan setelah di telusuri ternyata data yang di peroleh menunjukkan bahwa hadis –hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat di muat dalam beberapa kitab hadis. Adapun kitab hadis di maksud berikut jumlah periwayatnya , masing-masing terdapat pada :
Sahih al-Bukhariy, yakni memuat satu riwayat yang terdapat dalam “kitab al-aiman”, bab III.
Sunan al-Darimiy, memuat dua riwayat, yaitu terdapat dalam kitab “al-Zakat” bab 30, dan dalam kitab “al-Sair” bab 52.
Dengan demikian hadis-hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang berhasil di kumpulkan sesuai petunjuk kedua kamus hadis (al-Mu’jam dan Miftah) tersebut di atas hanya di temukan sekitar 3 riwayat dalam 2 kitab hadis.
Susunan Sanad dan Matan Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Pejabat
Hadis Riwayat al-Bukhariy Pada Kitab al-Aiman :
Abu al-Yaman menceritakan kepada kami, Syu’aib memberitakan kepada kami, dari al-Zuhriy dia berkata : ‘Urwah memberitakan kepadaku, dari Abi Humaid al-Saidiy, dia telah memberitakannya, sesungguhnya Rasulullah Saw. mengangkat seorang amil (pegawai) untuk menertima sedekah/zakat. Kemudian setelah selesai dari pekerjaannya dia datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata: Ini untukmu dan yang ini hadiah yang di berikan orang kepadaku. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah bapak atau ibumu untuk melihat apakah di beri hadiah atau tidak. Kemudian sesudah shalat Rasulullah Saw. berdiri setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya lalu bersabda: Amma ba’du, mengapakah seorang ‘amil yang di serahi mengurus pekerjaannya, kemudian ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku di beri hadiyah, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya untuk mengetahui apakah di beri hadiah atau tidak. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu untuk di ambil hasilnya (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat nanti memikul di atas lehernya, jika berupa onta akan bersuara, jika berupa lembu akan menguak, dan jika berupa kambing akan mengembik. Maka sungguh aku telah menyampaikan ; Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya, hingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya. Berkata pula Abu Humaid, sungguh hal itu telah mendengar bersamaku Zaid ibn Sabit dari Nabi Saw.
Kualitas Hadis – Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Berdasarkan Penelitian Sanad
Dalam bab ini, penelitian sanad di lakukan terhadap hadis yang berasal dari periwayat terakhir (Mukharrij al-Hadis) dari jalur Imam al-Darimiy bersama periwayat-periwayat di atasnya seperti : Abu al-Yaman, Syu’aib, al-Zuhriy, ‘Urwah dan Abu Humaid al-Saidiy.
Untuk mempermudah proses kegiatan peninjauan terhadap sanad-sanad hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, berikut ini akan di buatkan skema untuk keseluruhan sanad yang terkait baik dari jalur periwayat al-Bukhariy maupun sanad hadis yang berasal dari jalur al-Darimiy :
Pada skema gambar di atas tercantum seluruh sanad (nama periwayat) dan lafal-lafal penerima riwayat ( sigat al-Tahammul) , seperti lafal: Haddasaniy, haddasana (sana), akhbaraniy, akhbarana (ana), ‘an, dan anna, adalah merupakan tanda penghubung antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain . Dalam skema juga kelihatan adanya seorang sahabat yang berfungsi sebagai periwayat tingkat pertama, yakni Abu Humaid al-Saidiy. Pada tingkat kedua, ketiga, keempat dan pada tingkat ke lima masing-masing terdapat satu orang periwayat. Itu berarti apabila di lihat dari segi banyak dan sedikitnya sanad atau rawiy, hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat adalah termasuk klasifikasi hadis ahad.
Yang di maksud hadis ahad menurut istilah adalah, hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih , akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk di masukkan sebagai yang mutawwatir.[14] Adapun sanad hadis yang sedang di jadikan obyek penelitian ini adalah termasuk dalam katagori hadis ahad yang garib. Menurut istilah Fatchur Rahman yang di maksud dengan hadis garib ialah :
“Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Jadi kegariban tersebut sesungguhnya hanya terletak pada sanad (rawiy) saja, bukan terletak pada matan hadis, sebab tidak di temukan adanya lafal yang sulit atau tidak populer atau tidak di muat dalam sanad-sanad yang lain. Dan yang di maksudkan dengan penyendirian (ifrad) rawiy disini ialah karena tidak adanya orang lain yang meriwayatkan selain rawiy itu sendiri, dimana penyendirian itu dapat terjadi pada tingkat tabi’iy, tabi’it tabi’iy atau dapat juga terjadi pada seluruh rawiy rawiy pada tiap-tiap tabaqat, kecuali pada tingkat sahabat.
Berdasarkan Kritik Sanad
Sanad yang di pilih untuk di teliti langsung sebagaimana yang tertera pada skema sanad di atas adalah dari jalur periwayatan Imam al-Darimiy, kemuan keatas hingga tabaqat pertama pada seorang sahabat Nabi Saw. yakni Abu Humaid al Saidiy.
al – Darimiy.[16]
Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman bin al-Fadl bin Bahram bin ‘Abd al-Samad al-Darimiy al-Tamimiy Abu Muhammad al-Samarkandiy (181-255 H.). Dalam riwayat hidupnya, dia pernah berguru kepada ‘Abd al-Yaman , dan salah seorang muridnya yang terkenal adalah al-Bukhariy. Al-Darimiy adalah termasuk periwayat hadis yang berkualitas siqat. Hal ini dapat di pahami dari beberapa pernyataan ahli kritik hadis tentang dirinya, seperti : (1) Ahmad bin Hambal, bahwa al-Darimiy ialah seorang Imam. (2) Ahmad bin Sayyar (w. 268 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang berpengetahuan luas, dengan karya besarnya telah menyusun kitab al-Musnad dan al-Tafsir. (3) al-Khatib al-Bagdadiy (w.463 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang senang mengembara mencari hadis Nabi, mengumpulkan dan menghafalkannya. Dan dia itu termasuk orang yang siqat, sidq, wara’ dan zuhud.[17] Tidak ada seorangpun yang mencela pribadi al-Darimiy, sebaliknya pujian yang di berikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Oleh karena itu, di yakini bahwa al-Darimiy adalah benar-benar menerima hadis dari abu al-Yaman. Hal ini di dukung oleh lambang periwayatan yang digunakan adalah dengan lafal “akhbarana”, yang dimungkinkan dengan metode al-Sama’, al-Qira’ah atau dengan al-Ijazah. Yang berarti pula bahwa antara al-Darimiy dengan abu al-Yaman terjadi persambungan sanad.
Abu al-Yaman.[18]
Nama lengkapnya adalah al-Hakam bin Nafi’ al-Bahraniy abu al-yaman al-Himsiy (w.221/222 H.). Dia menerima hadis dari Syu’aib bin Abi Hamzah, dan murid yang meriwayatkan hadisnya adalah al-Bukhariy dan al-Darimiy.
Para kritikus hadis memberi penilaian terhadap diri Abu al-Yaman dengan pernyataan sebagai berikut : (1) Ahmad ibn Hambal bertanya : Bagaimana caranya kamu mendengar ( menerima) hadis dari Syu’aib ? Abu al-Yaman menjawab : Sebagian dengan cara al-Qira’ah.[19] Yang dimaksud dengan al-qira’ah ialah periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakannya,dan ia mendengarkan. Cara ini biasa di sebut “al-‘ard” (penyodoran). (2) Abu Hatim dan Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Ammar al-Musiliy mengatakan bahwa, Abu al-Yaman adalah orang yang siqat.[20]
Berdasarkan pernyataan para ahli kritikus hadis tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa, Abu al-Yaman adalah periwayat hadis yang memiliki kualitas pribadi yang baik, lebih-lebih lambang periwayatan yang di gunakan adalah lafal “akhbarana”, yang di mungkinkan ia menerima hadis tersebut dengan al-sama’, al-qira’ah atau dengan cara al-ijazah.[21] Maksud dari pada al-ijazah ialah, seorang guru hadis memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik melalui lesan maupun tulisan. Dan mayoritas ‘Ulama membolehkan cara al-ijazah ini bahkan menilainya cukup terpercaya untuk periwayatan hadis.
Dengan demikian bahwa, Abu al-Yaman adalah seorang yang benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yang berarti pula bahwa, sanad hadis yang ada di antara keduanya adalah bersambung dan dapat di percaya.
Syu’ayb.[22]
Nama lengkapnya adalah Syu’ayb bin Abi Hamzah Dinar al-Amawiy Mawlahum Abu Bisyr al-Himsiy (w.162 H.). Dia menerima hadis dari al-Zuhriy, dan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Abu al-Yaman.
Ibn Ma’in, al-‘Ijliy, Ya’qub bin Syaybah, Abu Hatim dan al-Nasa’iy, menilai Syu’ayb bersifat siqat. Lebih lanjut Ibn Ma’in menjelaskan bahwa dia termasuk orang yang asbat pada al-Zuhriy dan menjadi sekretarisnya. Ahmad menilai bahwa, Syu’ayb itu sabt, salih al-hadis, dia penulis dengan penuh kecermatan (dabit). Abu al-Yaman menilai, Syu’ayb itu sangat ketat dalam hadis. Dan Abu Dawud juga menjelaskan bahwa, Syu’ayb adalah asakh hadisan min al-Zuhriy.[23] Kecuali itu tak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Syu’ayb. Dan pujian yang di berikan kepadanya adalah berperingkat tinggi. Dengan melihat hubungan pribadinya dengan al-Zuhriy yang begitu akrab dengan menggunakan lambang periwayatan “akhbarana”, maka diyakini bahwa Syu’ayb benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yakni al-Zuhriy. Yang berarti pula bahwa sanad diantara keduanya adalah bersambung.
Al-Zuhriy.[24]
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubayd Allah bin ‘Abd Allah bin Syihab bin ‘Abd Allah bin al-Haris bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Galib al-Quraisiy al-Zuhriy Abu Bakr al-Madaniy (50-124 H.). Ia lebih populer dengan nama Ibn Syihab atau al-Zuhriy. Ia menerima hadis dari ‘Urwah, sedangkan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Syu’ayb.
Al-Zuhriy adalah periwayat hadis yang di andalkan kejujuran dan kedabitannya. Hal itu diakui para ahli kritikus hadis seperti : (1) Ibn Sa’ad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang siqat, ilmuwan, periwayat yang faqih dan jami’. (2) Abu al-Zinad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang paling berilmu di masanya, ia dapat menulis apa yang pernah di dengarnya dan menjadi hujjah. (3) Al-Lays menyatakan bahwa, saya tidak pernah melihat orang yang pintar melebihi al-Syihab.[25] (4) Ibn Manjuwiyah juga menyatakan bahwa, al-Zuhriy adalah orang yang pernah bertemu dengan sepuluh sahabat Nabi, dan dia adalah yang paling hafiz pada masanya.[26]
Berdasarkan penilaian para kritikus hadis tersebut, menunjukkan bahwa al-Zuhriy adalah seorang tabi’in kecil yang berkualitas siqat. Dia menerima hadis dari ‘Urwah (seorang tabi’in besar) dengan lambang periwayatan “’an” yang dipercaya dan di yakini bahwa antara keduanya terjadi persambungan sanad.
‘Urwah.[27]
Dia adalah ‘Urwah bin al-Zubayr bin al- ‘Awwam bin Khuwaylid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza al-Qurasyiy al-Asadiy, Abu ‘Abd Allah al-Madaniy (22-92 H.). Sebagai seorang tabi’in besar yang teruji kualitasnya, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang banyak menerima hadis dari ‘Aisyah (bibinya), di samping berguru kepada Asma bint Abi Bakr (ibunya) sendiri, juga kepada Abu Humaid al-Saidiy. Sedang murid-muridnya adalah al-Zuhriy, Hisyam (putranya) dan lain-lain.
Menurut penilaian ahli kritik hadis, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang terpuji. Hal itu sebagaimana di kemukakan oleh : (1) Ibn Sa’ad, menempatkannya sebagai al-tabaqat al-saniyah (tingkat kedua) dari penduduk Madinah. ‘Urwah adalah seorang yang siqat, faqih,ma’mun, ‘alim dan sabt. (2) al-Ijliy mengatakan bahwa, ‘Urwah adalah tabi’in yang siqat, saleh dan tidak pernah terkena fitnah. (3) Sufyan bin Uyaynah (w.198 H.), mengatakan: hanya ada tiga orang yang paling mengetahui hadis ‘Aisyah, yaitu : al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin al-Zubayr, dan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman. (4) Sedang ibn Hibban memasukkan ‘Urwah kedalam orang yang siqat. Dia adalah penduduk Madinah yang sangat utama dan cendekiawan.[28]
Sebagai seorang tabi’in besar yang pada umumnya langsung menerima hadis dari para sahabat Nabi, adalah tidak di ragukan lagi kebenarannya bahwa, sanad antara ‘Urwah dengan sahabat Abu Humaid al-Saidiy adalah benar-benar bersambung.
Abu Humaid.[29]
Dia adalah Humaid bin Nafi’ al-Ansariy Abu Aflah al-Madaniy Maula Safwan bin Aus. Abu Humaid adalah seorang sahabat Nabi yang sering bersama-sama sahabat Zaid ibn Sabit, salah seorang yang di percaya Nabi Saw. sebagai sekretarisnya sejak berumur 11 tahun. [30] Salah satu murid Abu Humaid yang sangat siqat, faqih, ma’mun dan ‘alim yang menerima riwayatnya adalah ‘Urwah bin al-Zubayr.
Abu Humaid di samping sebagai sahabat nabi Saw. juga sebagai periwayat hadis yang memiliki keadilan dan kekuatan hafalan yang dapat di andalkan. Hal ini dapat di fahami dari beberapa pernyataan dari ‘ulama rijal al-hadis, seperti :Zainab bint Umm Salamah, Imam al-Nasa’iy, al-Bukhariy, Muslim, dan ibn Hibban, bahwa Abu Humaid adalah seorang sahabat yang siqat.[31] Tidak ada seorang ahli rijal al-hadis yang mencela pribadinya. Dan dengan melihat hubungannya yang sering bersama-sama Nabi dan para sahabat Nabi lainnya, dapatlah di nyatakan bahwa hadis yang sanadnya di teliti saat ini adalah terjadi persambungan antara periwayat (Abu Humaid) dengan Nabi Saw.
Apabila di cermati secara seksama keseluruhan sanad sebagaimana yang tertera pada gambar skema sanad tersebut di atas , adalah memiliki integritas pribadi yang terpuji, tidak mengandung syaz dan ‘illat ( mengandung kejanggalan dan kecacatan ), karena seluruh periwayatnya dapat di andalkan kejujuran dan kekuatan hafalannya ( siqat ) kemudian sanad satu dengan yang lain pun bersambungan (muttasil). Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hadis riwayat al-Darimiy yang tengah di teliti saat iniadalah telah memenuhi syarat-syarat sebagai sanad hadis yang memiliki kualitas ”Sahih”.
Berdasarkan Penelitian Matan
Penelitian terhadap matan di pandang sangat penting , mengingat kedudukan matan hadis bisa mempengaruhi kualitas kesahihan hadis. Dimana suatu hadis barulah dapat dinyatakan berkualitas sahih, apabila sanad dan matan hadis tersebut sama-sama berkualitas sahih.[32] Jadi hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih (da’if) atau sebaliknya, yakni sanadnya da’if, tetapi matannya sahih, maka hadis yang demikian tidak dapat di nyatakan sebagai hadis sahih.
Untuk mengetahui bahwa, suatu matan hadis itu berkualitas sahih, minimal matan tersebut harus memenuhi empat macam tolok ukur, di antaranya: (1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. (2) Tidak bertentangan dengan hadis mutawwatir. (3) Tidak bertentangan dengan ijma’ ‘Ulama, dan (4) Tidak bertentangan dengan logika yang sejahtera.[33] Musthafa al-Siba’iy menambahkan bahwa, suatu matan hadis dapat dinilai berkualitas palsu (tidak berasal dari rasul), apabila matan hadis tersebut : (1) Memiliki susunan gramatika sangat jelek. (2) Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal. (3) Menyalahi al-Qur’an yang tegas maksudnya. (4) Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi. (5) Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap mazhabnya. (6) Mengandung suatu perkara yang seharusnya di beritakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya di riwayatkan oleh seorang saja. (7) Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti.[34]
Berdasarkan kriteria kesahihan matan yang di jadikan tolok ukur sebagaimana kriteria-kriteria tersebut di atas, maka dapat di simpulkan bahwa, matan hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang di riwayatkan oleh imam al-Darimiy adalah matan hadis yang tidak bertentangan sama sekali dengan tolok ukur kesahihan matan hadis. Dan dapat di nyatakan sebagai matan hadis yang berkualitas sahih (benar-benar berasal dari Nabi Saw.).
Berdasarkan Pemahaman Secara Tekstual dan Secara Kontekstual
Pemahaman Secara Tekstual
Secara tekstual terdapat beberapa kata kunci dalam matan hadis yang dijadikan obyek penelitian, di antaranya : ( terangkatnya seorang pegawai,pejabat, pekerja atau orang yang di serahi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas, kemudian menmerima hadiah, tetapi berkesan menyembunyikan sesuatu untuk di ambil hasilnya atau berkhianat dalam arti populer terindikasi melakukan korupsi), maka Nabi Saw. dengan tegas hingga di nyatakan dua kali dengan menggunakan kata “isim istifham” (kata untuk bertanya) seperti kata-kata , yang menurut ahli Ushul mempunyai arti “ al-Nahyi” atau larangan yang bersifat “taubikh” (menegur).[35] Larangan tersebut terlihat pada sikap ketidak relaan Nabi ketika menerima laporan dari seorang pegawai yang menerima hadiah ketika ia sedang menjalankan tugasnya.
Dengan demikian secara tekstual hukum bagi seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah menurut hadis al-Darimiy adalah tidak boleh atau “haram hukumnya”.
b. Pemahaman Secara Kontekstual
Secara kontekstual, sesungguhnya makna hadis dari al-Darimiy adalah di tunjukkan kepada orang banyak, tidak mengkhusus kepada hukum seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah, tetapi lebih bersifat umum. Hal itu terbukti dari asbab al-nuzul hadis tersebut pernah di sampaikan Nabi Saw. ketika selesai turun dari mimbar shalat, dengan nada ketidak puasan nabi kepada seorang pegawai yang telah melapor kepada-nya di hadapan orang banyak. Sesungguhnya dasar hukum yang melarang seorang menerima hadiah, adalah lebih di sandarkan atau di qiyaskan kepada kasus seorang pegawai yang karena jabatan atau pekerjaannya, sehingga seorang datang memberikan hadiah kepadanya bukan karena dasar sukarela, tetapi di curigai oleh Nabi Saw. mempunyai maksud-maksud tertentu, hubungan tertentu atau latar belakang tertentu, dengan istilah populer hadiah yang di terimanya itu terindikasi berbau kolusi, nepotisme dan individualistis. Jadi apabila seseorang menerima hadiah dari orang yang memberi hadiah kepadanya bukan karena niat atau maksud-maksud tertentu , tetapi atas dasar sukarela dan bertujuan untuk memuliakan serta hanya mengharap rida Allah Swt. Maka pemberian hadiah atau penerimaan hadiah seperti ini adalah tidak termasuk katagori yang di larang sebagaimana hukum yang terkandung dalam hadis riwayat Imam al-Darimiy.
KESIMPULAN
Dengan selesainya pembahasan tentang penelitian metodologis hadis masalah korupsi, kolusi, nepotisme dan individualistis, yakni studi kasus atas hadis Abu al-Humaidiy tentang larangan menerima hadiah bagi pejabat dalam melaksanakan tugasnya, dapat di simpulkan beberapa hal penting sebagai berikut :
Mengingat peran al-Hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya langkah penelitian yang mendalam sebagai upaya untuk menjaga kualitas kemurnian, keotentikan dan kesahihannya. Sehingga dapat di pertanggung jawabkan sebagai dasar penetapan hukum dalam Islam.
Sesungguhnya hadis riwayat al-Darimiy yang di jadikan sebagai landasan hukum tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, apabila di lihat dari kualitas sanad, maupun matannya adalah berkualitas sahih, walaupun masuk dalam katagori hadis ahad. Sehingga dengan demikian keabsahannya sebagai landasan hukum Islam dapat di terima .
Secara tekstual maupun secara kontekstual, isi kandungan hadis yang di riwayatkan oleh Imam al-Darimiy , berintikan adanya larangan memberi atau menerima suatu hadiah yang di latar belakangi oleh adanya maksud atau niat tertentu, hubungan tertentu yang dalam istilah populer sekarang terkenal dengan adanya indikasi suap, kolusi, nepotisme dan individualistis di dalamnya. Sedang pemberian atau penerimaan hadiah yang di sebabkan oleh adanya latar belakang dasar suka rela, untuk memuliakan satu dengan yang lainnya, dan untuk menjalin perdamaian diantara sesama yang di lakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Maka pemberian atau penerimaan hadiah semacam ini tidak termasuk dalam larangan, bahkan sangat di anjurkan oleh Nabi Saw.
Untuk menghentikan praktek KKN di kalangan pejabat pemerintah dan masyarakat luas, MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan tentang hukum korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta cara memberantasnya, sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi etimologi, korupsi berasal dari bahasa Inggris corruption yang berasal dari akar kata corrupt yang berarti jahat, buruk, dan rusak. Sedangkan menurut istilah, korupsi didefinisikan sebagai berikut: -
a. Menurut Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption, korupsi adalah, "Tingkah laku menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan demi keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi, kerabat atau kroni".
b. Korupsi adalah perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana, wewenang, waktu, dan sebagainya dengan tujuan untuk kepentingan pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Karena akibatnya yang merugikan itu, maka korupsi digolongkan sebagai tindak pidana.
c. Korupsi adalah suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Sebagai balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah berupa kelonggaran aturan yang semestinya diterapkan secara ketat.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa korupsi dalam perspektif ajaran Islam adalah identik dengan risywah, ghulul, dan at-tajawuz fi isti'mal al-haqq, serta termasuk salah satu bentuk dari sikap khianat yang diharamkan oleh Allah SWT karena korupsi berdampak negatif dan sangat merugikan masyarakat luas. Di antaranya adalah: -
a. Merusak akhlak dan moral bangsa
b. Mengacaukan sistem perekonomian dan hukum
c. Menggerogoti kesejahteraan rakyat dan menghambat pelaksanaan pembangunan.
d. Merugikan dan bahkan menimbulkan dlarar (bahaya) bagi orang lain
e. Menyebabkan hilangnya berkah dari Allah SWT
f. Menyebabkan siksa neraka.
Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW :
كُلُّ جَسَدٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ (رواه البيهقي
Artinya:
Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (makanan & minuman) yang haram, maka lebih berhak masuk ke dalam neraka.
g. Anak-anak yang diberi makan dan minum dari hasil korupsi, susah dididik menjadi anak yang shaleh, yang mau beribadah kepada Allah SWT serta berbakti kepada kedua orang tua. Anak-anak seperti itu, cenderung mengabaikan ajaran agama, menentang orang tua, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, mempraktekkan kehidupan free sex, suka tawuran, dan melakukan berbagai kejahatan yang lain. Hal ini tidak lain karena mereka dibesarkan dari makanan dan minuman yang dibeli dengan uang hasil korupsi yang secara tegas dilarang oleh Allah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa' ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ(29)النساء
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. An-Nisa', 4: 29.
2. Jenis dan kategori korupsi adalah sebagai berikut:
a. Penyalah-gunaan wewenang
b. Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1). Pengeluaran fiktif
2). Manipulasi harga pembelian atau kontrak
3). Penggelapan dana atau pencurian langsung darikas.
Ada lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber praktek korupsi, yaitu: -
1). Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang.Hal ini menyangkut harga, kualitas, dan komisi.
2). Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan administratif.
3). Perpajakan, yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan pajak.
4). Pemberian izin usaha, dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.
5). Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta pungutan liar.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemberian imbalan di luar kontrak yang telah disepakati karena kita menyetujui pembelian atau pengadaan barang (kantor) dengan harga di atas harga yang wajar adalah termasuk korupsi yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena hal itu termasuk manipulasi harga pembelian atau kontrak.
Sedangkan karyawan yang datang terlambat atau pulang lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan, dalam istilah yang populer tidak termasuk dalam kategori korupsi karena tidak berupa penyalah-gunaan wewenang atau penyelewengan dana. Sungguh pun demikian, hal itu termasuk perbuatan yang tidak baik karena melanggar disiplin dan mengurangi produktivitas kerja sehingga merugikan pihak lain.
3. Kolusi, ditinjau dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris collusion yang berarti persekongkolan atau kongkalikong.Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, bangsa atau negara.
4.Nepotisme berasal dari bahasa Perancis nepote yang berarti keponakan. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menjelaskan praktek favoritisme yang dilakukan oleh pimpinan Gereja Katolik Romawi (Paus dan para Kardinal) pada abad pertengahan, yang memberikan jabatan-jabatan kepada sanak, famili, keponakan atau orang-orang yang mereka sukai.
Berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka Nepotisme dapat didefinisikan sebagai berikut: “Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan seorang pemimpin yang lebih mendahulukan keluarga dan sanak famili dalam mem-berikan jabatan dan yang lain, baik dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam manajemen perusahaan swasta.
5. Pada umumnya, manusia mempunyai ikatan jiwa yang lebih kuat dengan keluarga dan sanak famili dibanding dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori 'ashobiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, sangat wajar jika seorang pemimpin pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain, lebih senang memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga atau orang yang disenanginya serta lebih mementingkan dan mengutamakan mereka dalam segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak mempunyai ikatan apa-apa. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: -
a. Pada umumnya, kerabat memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan orang lain.
b. Pada umumnya, keluarga lebih mudah fit in dibanding non keluarga.
c. Pada umumnya keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain.
d. Pada umumnya keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.
e. Pada umumnya keluarga lebih mampu melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif dibandingkan dengan orang lain.
f. Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawab dengan baik, maka akan mendorong semangat kerja orang lain.
Sepanjang keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai kemampuan dan profesionalisme serta bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, maka tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Permasalahannya adalah, bagaimana jika keluarga atau famili atau orang lain yang disenanginya itu tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya?
Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan -apalagi jabatan yang sangat strategis-kepada seseorang semata-mata atas dasar pertimbangan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan, padahal yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, atau ada orang lain yang lebih berhak dari padanya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah dalam hadits shahih riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ اسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنْ عِصَابَةٍ وَفِيْ تِلْكَ اْلعِصَابَةِ مَنْ هُوَ أَرْضَى لِلهِ مِنْهُ فَقَدْ خَانَ اللهَ وَخَانَ رَسُوْلَهُ وَخَانَ اْلمُؤْمِنِيْنَ (رواه الحاكم
"Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepadaAllah, Rasulullah dan orang-orang yang beriman".
6. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang dilarang oleh ajaran Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan keluarga atau sanak famili dengan tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan. Adapun nepotisme yang disertai dengan pertimbangan kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal itu tidak dilarang. Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis adalah merupakan sumber hukum yang sangat penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, al-qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi saw. adalah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua.[1] Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr : 7 ;
“ Apa yang di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.[2] [3]
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam ajaran Islam, di samping harus berpegang teguh pada al-Qur’an juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi Saw. Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah menginformasikan kepada umatnya bahwa, di samping al-Qur’an masih terdapat satu pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an, yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan:
“ Wahai Umatku, sungguh aku telah di beri al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Turmuziy ).[4]
Jadi tidak di ragukan lagi bahwa yang di maksud dengan “menyamai” atau semisal al-Qur’an dalam matan hadis di atas adalah hadis Nabi saw. Mengingat peran hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya penelitian yang mendalam sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian, keotentikan, dan kesahihannya. Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi keotentikannya dapat di pertanggung jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Langkah penelitian terhadap kualitas hadis menjadi sangat penting, mengingat bahwa latar belakang sejarah penghimpunan hadis baru terjadi pada akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Azis yang memerintah sekitar tahun 717-720 M.[5]
Dengan melihat jauhnya jarak antara masa kehidupan Nabi saw. dengan masa perhimpunan hadis-hadis tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan terhadap matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis menjadi berbagai macam bentuknya, ada yang di anggap sahih, hasan maupun da’if. Perlu di jelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan adalah merupakan pecahan dari kualitas hadis da’if yang di pergunakan sebelum masanya al-Turmuziy.[6]
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis yang di pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai macam. Apakah hadis –hadis yang di jadikan sebagai landasan hukum tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun da’if. Oleh karena itu untuk menggunakan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau da’if, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis di maksud benar-benar berasal dari Nabi saw. sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di pertanggung jawabkan kevaliditasannya.
PEMBAHASAN SANAD DAN MATAN HADIS TENTANG LARANGAN MENERIMA HADIAH BAGI PARA PEJABAT
Klasifikasi Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Takhrij al- Hadis
Kata takhrij yang sering di artikan sebagai : al-Istimbat ( mengeluarkan dari sumbernya), al- Tadrib ( latihan ), dan al-Tawjih (pengarahan),[7] ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumber asli dari hadis, yang di dalamnya di kemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan. Kemudian guna kepentingan penelitian, maka akan di jelaskan hingga kualitas hadis yang di jadikan obyek penelitian.
Adapun metode takhrij al-Hadis yang akan di pergunakan dalam menelusuri hadis-hadis tentang : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat, adalah terdapat dua macam metode, yakni : (1) Metode takhrij melalui lafal-lafal yang terdapat dalam hadis (takhrij al- hadis bi alfaz), yaitu adanya upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis dengan cara menulusuri matan hadis yang bersangkutan.[8] (2) Dengan metode takhrij melalui tema hadis (tematik) (takhrij al-hadis bi al-mawdu’), yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang di bahas dalam sejumlah matan hadis.[9]
Untuk penggunaan metode yang pertama, penulis merujuk pada kamus hadis al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawiy, dan untuk metode yang ke dua penulis merujuk kepada kitab : Miftah Kunuz al-Sunnah, yang keduanya di susun oleh Arnold John Wensinck (w.1939 M.) dan J.P. Mensing.
Jika di tempuh melalui metode lafal dari berbagai riwayat yang terkait dengan matan hadis tentang larangan menerima hadiah bagi pejabat, di temukan di dalamnya beberapa kata kunci, seperti : ? ????? ?? ??? – ? ??? - ??????? , sedangkan jika di tempuh dengan metode tematik , maka berbagai riwayat hadis yang di cari di temukan pada topik : ?????? ?? ??? ( ??? ?????? ) – ?? ? ?? ?????? ??? ??? ? ?? ???? ????????????? – ?? ? ???? ???? ? ???? ?? ??? ??[10] , dan setelah di telusuri ternyata data yang di peroleh menunjukkan bahwa hadis –hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat di muat dalam beberapa kitab hadis. Adapun kitab hadis di maksud berikut jumlah periwayatnya , masing-masing terdapat pada :
Sahih al-Bukhariy, yakni memuat satu riwayat yang terdapat dalam “kitab al-aiman”, bab III.
Sunan al-Darimiy, memuat dua riwayat, yaitu terdapat dalam kitab “al-Zakat” bab 30, dan dalam kitab “al-Sair” bab 52.
Dengan demikian hadis-hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang berhasil di kumpulkan sesuai petunjuk kedua kamus hadis (al-Mu’jam dan Miftah) tersebut di atas hanya di temukan sekitar 3 riwayat dalam 2 kitab hadis.
Susunan Sanad dan Matan Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Pejabat
Hadis Riwayat al-Bukhariy Pada Kitab al-Aiman :
Abu al-Yaman menceritakan kepada kami, Syu’aib memberitakan kepada kami, dari al-Zuhriy dia berkata : ‘Urwah memberitakan kepadaku, dari Abi Humaid al-Saidiy, dia telah memberitakannya, sesungguhnya Rasulullah Saw. mengangkat seorang amil (pegawai) untuk menertima sedekah/zakat. Kemudian setelah selesai dari pekerjaannya dia datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata: Ini untukmu dan yang ini hadiah yang di berikan orang kepadaku. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah bapak atau ibumu untuk melihat apakah di beri hadiah atau tidak. Kemudian sesudah shalat Rasulullah Saw. berdiri setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya lalu bersabda: Amma ba’du, mengapakah seorang ‘amil yang di serahi mengurus pekerjaannya, kemudian ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku di beri hadiyah, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya untuk mengetahui apakah di beri hadiah atau tidak. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu untuk di ambil hasilnya (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat nanti memikul di atas lehernya, jika berupa onta akan bersuara, jika berupa lembu akan menguak, dan jika berupa kambing akan mengembik. Maka sungguh aku telah menyampaikan ; Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya, hingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya. Berkata pula Abu Humaid, sungguh hal itu telah mendengar bersamaku Zaid ibn Sabit dari Nabi Saw.
Kualitas Hadis – Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Berdasarkan Penelitian Sanad
Dalam bab ini, penelitian sanad di lakukan terhadap hadis yang berasal dari periwayat terakhir (Mukharrij al-Hadis) dari jalur Imam al-Darimiy bersama periwayat-periwayat di atasnya seperti : Abu al-Yaman, Syu’aib, al-Zuhriy, ‘Urwah dan Abu Humaid al-Saidiy.
Untuk mempermudah proses kegiatan peninjauan terhadap sanad-sanad hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, berikut ini akan di buatkan skema untuk keseluruhan sanad yang terkait baik dari jalur periwayat al-Bukhariy maupun sanad hadis yang berasal dari jalur al-Darimiy :
Pada skema gambar di atas tercantum seluruh sanad (nama periwayat) dan lafal-lafal penerima riwayat ( sigat al-Tahammul) , seperti lafal: Haddasaniy, haddasana (sana), akhbaraniy, akhbarana (ana), ‘an, dan anna, adalah merupakan tanda penghubung antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain . Dalam skema juga kelihatan adanya seorang sahabat yang berfungsi sebagai periwayat tingkat pertama, yakni Abu Humaid al-Saidiy. Pada tingkat kedua, ketiga, keempat dan pada tingkat ke lima masing-masing terdapat satu orang periwayat. Itu berarti apabila di lihat dari segi banyak dan sedikitnya sanad atau rawiy, hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat adalah termasuk klasifikasi hadis ahad.
Yang di maksud hadis ahad menurut istilah adalah, hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih , akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk di masukkan sebagai yang mutawwatir.[14] Adapun sanad hadis yang sedang di jadikan obyek penelitian ini adalah termasuk dalam katagori hadis ahad yang garib. Menurut istilah Fatchur Rahman yang di maksud dengan hadis garib ialah :
“Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Jadi kegariban tersebut sesungguhnya hanya terletak pada sanad (rawiy) saja, bukan terletak pada matan hadis, sebab tidak di temukan adanya lafal yang sulit atau tidak populer atau tidak di muat dalam sanad-sanad yang lain. Dan yang di maksudkan dengan penyendirian (ifrad) rawiy disini ialah karena tidak adanya orang lain yang meriwayatkan selain rawiy itu sendiri, dimana penyendirian itu dapat terjadi pada tingkat tabi’iy, tabi’it tabi’iy atau dapat juga terjadi pada seluruh rawiy rawiy pada tiap-tiap tabaqat, kecuali pada tingkat sahabat.
Berdasarkan Kritik Sanad
Sanad yang di pilih untuk di teliti langsung sebagaimana yang tertera pada skema sanad di atas adalah dari jalur periwayatan Imam al-Darimiy, kemuan keatas hingga tabaqat pertama pada seorang sahabat Nabi Saw. yakni Abu Humaid al Saidiy.
al – Darimiy.[16]
Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman bin al-Fadl bin Bahram bin ‘Abd al-Samad al-Darimiy al-Tamimiy Abu Muhammad al-Samarkandiy (181-255 H.). Dalam riwayat hidupnya, dia pernah berguru kepada ‘Abd al-Yaman , dan salah seorang muridnya yang terkenal adalah al-Bukhariy. Al-Darimiy adalah termasuk periwayat hadis yang berkualitas siqat. Hal ini dapat di pahami dari beberapa pernyataan ahli kritik hadis tentang dirinya, seperti : (1) Ahmad bin Hambal, bahwa al-Darimiy ialah seorang Imam. (2) Ahmad bin Sayyar (w. 268 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang berpengetahuan luas, dengan karya besarnya telah menyusun kitab al-Musnad dan al-Tafsir. (3) al-Khatib al-Bagdadiy (w.463 H.), bahwa al-Darimiy adalah orang yang senang mengembara mencari hadis Nabi, mengumpulkan dan menghafalkannya. Dan dia itu termasuk orang yang siqat, sidq, wara’ dan zuhud.[17] Tidak ada seorangpun yang mencela pribadi al-Darimiy, sebaliknya pujian yang di berikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Oleh karena itu, di yakini bahwa al-Darimiy adalah benar-benar menerima hadis dari abu al-Yaman. Hal ini di dukung oleh lambang periwayatan yang digunakan adalah dengan lafal “akhbarana”, yang dimungkinkan dengan metode al-Sama’, al-Qira’ah atau dengan al-Ijazah. Yang berarti pula bahwa antara al-Darimiy dengan abu al-Yaman terjadi persambungan sanad.
Abu al-Yaman.[18]
Nama lengkapnya adalah al-Hakam bin Nafi’ al-Bahraniy abu al-yaman al-Himsiy (w.221/222 H.). Dia menerima hadis dari Syu’aib bin Abi Hamzah, dan murid yang meriwayatkan hadisnya adalah al-Bukhariy dan al-Darimiy.
Para kritikus hadis memberi penilaian terhadap diri Abu al-Yaman dengan pernyataan sebagai berikut : (1) Ahmad ibn Hambal bertanya : Bagaimana caranya kamu mendengar ( menerima) hadis dari Syu’aib ? Abu al-Yaman menjawab : Sebagian dengan cara al-Qira’ah.[19] Yang dimaksud dengan al-qira’ah ialah periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakannya,dan ia mendengarkan. Cara ini biasa di sebut “al-‘ard” (penyodoran). (2) Abu Hatim dan Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Ammar al-Musiliy mengatakan bahwa, Abu al-Yaman adalah orang yang siqat.[20]
Berdasarkan pernyataan para ahli kritikus hadis tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa, Abu al-Yaman adalah periwayat hadis yang memiliki kualitas pribadi yang baik, lebih-lebih lambang periwayatan yang di gunakan adalah lafal “akhbarana”, yang di mungkinkan ia menerima hadis tersebut dengan al-sama’, al-qira’ah atau dengan cara al-ijazah.[21] Maksud dari pada al-ijazah ialah, seorang guru hadis memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik melalui lesan maupun tulisan. Dan mayoritas ‘Ulama membolehkan cara al-ijazah ini bahkan menilainya cukup terpercaya untuk periwayatan hadis.
Dengan demikian bahwa, Abu al-Yaman adalah seorang yang benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yang berarti pula bahwa, sanad hadis yang ada di antara keduanya adalah bersambung dan dapat di percaya.
Syu’ayb.[22]
Nama lengkapnya adalah Syu’ayb bin Abi Hamzah Dinar al-Amawiy Mawlahum Abu Bisyr al-Himsiy (w.162 H.). Dia menerima hadis dari al-Zuhriy, dan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Abu al-Yaman.
Ibn Ma’in, al-‘Ijliy, Ya’qub bin Syaybah, Abu Hatim dan al-Nasa’iy, menilai Syu’ayb bersifat siqat. Lebih lanjut Ibn Ma’in menjelaskan bahwa dia termasuk orang yang asbat pada al-Zuhriy dan menjadi sekretarisnya. Ahmad menilai bahwa, Syu’ayb itu sabt, salih al-hadis, dia penulis dengan penuh kecermatan (dabit). Abu al-Yaman menilai, Syu’ayb itu sangat ketat dalam hadis. Dan Abu Dawud juga menjelaskan bahwa, Syu’ayb adalah asakh hadisan min al-Zuhriy.[23] Kecuali itu tak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Syu’ayb. Dan pujian yang di berikan kepadanya adalah berperingkat tinggi. Dengan melihat hubungan pribadinya dengan al-Zuhriy yang begitu akrab dengan menggunakan lambang periwayatan “akhbarana”, maka diyakini bahwa Syu’ayb benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yakni al-Zuhriy. Yang berarti pula bahwa sanad diantara keduanya adalah bersambung.
Al-Zuhriy.[24]
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubayd Allah bin ‘Abd Allah bin Syihab bin ‘Abd Allah bin al-Haris bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Galib al-Quraisiy al-Zuhriy Abu Bakr al-Madaniy (50-124 H.). Ia lebih populer dengan nama Ibn Syihab atau al-Zuhriy. Ia menerima hadis dari ‘Urwah, sedangkan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Syu’ayb.
Al-Zuhriy adalah periwayat hadis yang di andalkan kejujuran dan kedabitannya. Hal itu diakui para ahli kritikus hadis seperti : (1) Ibn Sa’ad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang siqat, ilmuwan, periwayat yang faqih dan jami’. (2) Abu al-Zinad, bahwa al-Zuhriy adalah orang yang paling berilmu di masanya, ia dapat menulis apa yang pernah di dengarnya dan menjadi hujjah. (3) Al-Lays menyatakan bahwa, saya tidak pernah melihat orang yang pintar melebihi al-Syihab.[25] (4) Ibn Manjuwiyah juga menyatakan bahwa, al-Zuhriy adalah orang yang pernah bertemu dengan sepuluh sahabat Nabi, dan dia adalah yang paling hafiz pada masanya.[26]
Berdasarkan penilaian para kritikus hadis tersebut, menunjukkan bahwa al-Zuhriy adalah seorang tabi’in kecil yang berkualitas siqat. Dia menerima hadis dari ‘Urwah (seorang tabi’in besar) dengan lambang periwayatan “’an” yang dipercaya dan di yakini bahwa antara keduanya terjadi persambungan sanad.
‘Urwah.[27]
Dia adalah ‘Urwah bin al-Zubayr bin al- ‘Awwam bin Khuwaylid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza al-Qurasyiy al-Asadiy, Abu ‘Abd Allah al-Madaniy (22-92 H.). Sebagai seorang tabi’in besar yang teruji kualitasnya, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang banyak menerima hadis dari ‘Aisyah (bibinya), di samping berguru kepada Asma bint Abi Bakr (ibunya) sendiri, juga kepada Abu Humaid al-Saidiy. Sedang murid-muridnya adalah al-Zuhriy, Hisyam (putranya) dan lain-lain.
Menurut penilaian ahli kritik hadis, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang terpuji. Hal itu sebagaimana di kemukakan oleh : (1) Ibn Sa’ad, menempatkannya sebagai al-tabaqat al-saniyah (tingkat kedua) dari penduduk Madinah. ‘Urwah adalah seorang yang siqat, faqih,ma’mun, ‘alim dan sabt. (2) al-Ijliy mengatakan bahwa, ‘Urwah adalah tabi’in yang siqat, saleh dan tidak pernah terkena fitnah. (3) Sufyan bin Uyaynah (w.198 H.), mengatakan: hanya ada tiga orang yang paling mengetahui hadis ‘Aisyah, yaitu : al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin al-Zubayr, dan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman. (4) Sedang ibn Hibban memasukkan ‘Urwah kedalam orang yang siqat. Dia adalah penduduk Madinah yang sangat utama dan cendekiawan.[28]
Sebagai seorang tabi’in besar yang pada umumnya langsung menerima hadis dari para sahabat Nabi, adalah tidak di ragukan lagi kebenarannya bahwa, sanad antara ‘Urwah dengan sahabat Abu Humaid al-Saidiy adalah benar-benar bersambung.
Abu Humaid.[29]
Dia adalah Humaid bin Nafi’ al-Ansariy Abu Aflah al-Madaniy Maula Safwan bin Aus. Abu Humaid adalah seorang sahabat Nabi yang sering bersama-sama sahabat Zaid ibn Sabit, salah seorang yang di percaya Nabi Saw. sebagai sekretarisnya sejak berumur 11 tahun. [30] Salah satu murid Abu Humaid yang sangat siqat, faqih, ma’mun dan ‘alim yang menerima riwayatnya adalah ‘Urwah bin al-Zubayr.
Abu Humaid di samping sebagai sahabat nabi Saw. juga sebagai periwayat hadis yang memiliki keadilan dan kekuatan hafalan yang dapat di andalkan. Hal ini dapat di fahami dari beberapa pernyataan dari ‘ulama rijal al-hadis, seperti :Zainab bint Umm Salamah, Imam al-Nasa’iy, al-Bukhariy, Muslim, dan ibn Hibban, bahwa Abu Humaid adalah seorang sahabat yang siqat.[31] Tidak ada seorang ahli rijal al-hadis yang mencela pribadinya. Dan dengan melihat hubungannya yang sering bersama-sama Nabi dan para sahabat Nabi lainnya, dapatlah di nyatakan bahwa hadis yang sanadnya di teliti saat ini adalah terjadi persambungan antara periwayat (Abu Humaid) dengan Nabi Saw.
Apabila di cermati secara seksama keseluruhan sanad sebagaimana yang tertera pada gambar skema sanad tersebut di atas , adalah memiliki integritas pribadi yang terpuji, tidak mengandung syaz dan ‘illat ( mengandung kejanggalan dan kecacatan ), karena seluruh periwayatnya dapat di andalkan kejujuran dan kekuatan hafalannya ( siqat ) kemudian sanad satu dengan yang lain pun bersambungan (muttasil). Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa hadis riwayat al-Darimiy yang tengah di teliti saat iniadalah telah memenuhi syarat-syarat sebagai sanad hadis yang memiliki kualitas ”Sahih”.
Berdasarkan Penelitian Matan
Penelitian terhadap matan di pandang sangat penting , mengingat kedudukan matan hadis bisa mempengaruhi kualitas kesahihan hadis. Dimana suatu hadis barulah dapat dinyatakan berkualitas sahih, apabila sanad dan matan hadis tersebut sama-sama berkualitas sahih.[32] Jadi hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih (da’if) atau sebaliknya, yakni sanadnya da’if, tetapi matannya sahih, maka hadis yang demikian tidak dapat di nyatakan sebagai hadis sahih.
Untuk mengetahui bahwa, suatu matan hadis itu berkualitas sahih, minimal matan tersebut harus memenuhi empat macam tolok ukur, di antaranya: (1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. (2) Tidak bertentangan dengan hadis mutawwatir. (3) Tidak bertentangan dengan ijma’ ‘Ulama, dan (4) Tidak bertentangan dengan logika yang sejahtera.[33] Musthafa al-Siba’iy menambahkan bahwa, suatu matan hadis dapat dinilai berkualitas palsu (tidak berasal dari rasul), apabila matan hadis tersebut : (1) Memiliki susunan gramatika sangat jelek. (2) Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal. (3) Menyalahi al-Qur’an yang tegas maksudnya. (4) Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi. (5) Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap mazhabnya. (6) Mengandung suatu perkara yang seharusnya di beritakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya di riwayatkan oleh seorang saja. (7) Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti.[34]
Berdasarkan kriteria kesahihan matan yang di jadikan tolok ukur sebagaimana kriteria-kriteria tersebut di atas, maka dapat di simpulkan bahwa, matan hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang di riwayatkan oleh imam al-Darimiy adalah matan hadis yang tidak bertentangan sama sekali dengan tolok ukur kesahihan matan hadis. Dan dapat di nyatakan sebagai matan hadis yang berkualitas sahih (benar-benar berasal dari Nabi Saw.).
Berdasarkan Pemahaman Secara Tekstual dan Secara Kontekstual
Pemahaman Secara Tekstual
Secara tekstual terdapat beberapa kata kunci dalam matan hadis yang dijadikan obyek penelitian, di antaranya : ( terangkatnya seorang pegawai,pejabat, pekerja atau orang yang di serahi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas, kemudian menmerima hadiah, tetapi berkesan menyembunyikan sesuatu untuk di ambil hasilnya atau berkhianat dalam arti populer terindikasi melakukan korupsi), maka Nabi Saw. dengan tegas hingga di nyatakan dua kali dengan menggunakan kata “isim istifham” (kata untuk bertanya) seperti kata-kata , yang menurut ahli Ushul mempunyai arti “ al-Nahyi” atau larangan yang bersifat “taubikh” (menegur).[35] Larangan tersebut terlihat pada sikap ketidak relaan Nabi ketika menerima laporan dari seorang pegawai yang menerima hadiah ketika ia sedang menjalankan tugasnya.
Dengan demikian secara tekstual hukum bagi seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah menurut hadis al-Darimiy adalah tidak boleh atau “haram hukumnya”.
b. Pemahaman Secara Kontekstual
Secara kontekstual, sesungguhnya makna hadis dari al-Darimiy adalah di tunjukkan kepada orang banyak, tidak mengkhusus kepada hukum seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah, tetapi lebih bersifat umum. Hal itu terbukti dari asbab al-nuzul hadis tersebut pernah di sampaikan Nabi Saw. ketika selesai turun dari mimbar shalat, dengan nada ketidak puasan nabi kepada seorang pegawai yang telah melapor kepada-nya di hadapan orang banyak. Sesungguhnya dasar hukum yang melarang seorang menerima hadiah, adalah lebih di sandarkan atau di qiyaskan kepada kasus seorang pegawai yang karena jabatan atau pekerjaannya, sehingga seorang datang memberikan hadiah kepadanya bukan karena dasar sukarela, tetapi di curigai oleh Nabi Saw. mempunyai maksud-maksud tertentu, hubungan tertentu atau latar belakang tertentu, dengan istilah populer hadiah yang di terimanya itu terindikasi berbau kolusi, nepotisme dan individualistis. Jadi apabila seseorang menerima hadiah dari orang yang memberi hadiah kepadanya bukan karena niat atau maksud-maksud tertentu , tetapi atas dasar sukarela dan bertujuan untuk memuliakan serta hanya mengharap rida Allah Swt. Maka pemberian hadiah atau penerimaan hadiah seperti ini adalah tidak termasuk katagori yang di larang sebagaimana hukum yang terkandung dalam hadis riwayat Imam al-Darimiy.
KESIMPULAN
Dengan selesainya pembahasan tentang penelitian metodologis hadis masalah korupsi, kolusi, nepotisme dan individualistis, yakni studi kasus atas hadis Abu al-Humaidiy tentang larangan menerima hadiah bagi pejabat dalam melaksanakan tugasnya, dapat di simpulkan beberapa hal penting sebagai berikut :
Mengingat peran al-Hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya langkah penelitian yang mendalam sebagai upaya untuk menjaga kualitas kemurnian, keotentikan dan kesahihannya. Sehingga dapat di pertanggung jawabkan sebagai dasar penetapan hukum dalam Islam.
Sesungguhnya hadis riwayat al-Darimiy yang di jadikan sebagai landasan hukum tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, apabila di lihat dari kualitas sanad, maupun matannya adalah berkualitas sahih, walaupun masuk dalam katagori hadis ahad. Sehingga dengan demikian keabsahannya sebagai landasan hukum Islam dapat di terima .
Secara tekstual maupun secara kontekstual, isi kandungan hadis yang di riwayatkan oleh Imam al-Darimiy , berintikan adanya larangan memberi atau menerima suatu hadiah yang di latar belakangi oleh adanya maksud atau niat tertentu, hubungan tertentu yang dalam istilah populer sekarang terkenal dengan adanya indikasi suap, kolusi, nepotisme dan individualistis di dalamnya. Sedang pemberian atau penerimaan hadiah yang di sebabkan oleh adanya latar belakang dasar suka rela, untuk memuliakan satu dengan yang lainnya, dan untuk menjalin perdamaian diantara sesama yang di lakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Maka pemberian atau penerimaan hadiah semacam ini tidak termasuk dalam larangan, bahkan sangat di anjurkan oleh Nabi Saw.
Terima kasih ilmunya.
BalasHapus