Sabtu, 05 November 2011

BID'AH KONTENPORER



PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar Royah)
Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah. Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir. Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, www.islamspirit.com)
Inilah sedikit muqodimah mengenai definisi bid’ah dan berikut kita akan menyimak beberapa kerancuan seputar bid’ah. Pada awalnya kita akan melewati pembahasan ‘apakah setiap bid’ah itu sesat?’. Semoga kita selalu mendapat taufik Allah.


PENGERTIAN BID'AH SECARA LENGKAP
Setelah membahas masalah As Sunnah tersebut maka kini sampailah pada pembahasan mengenai bid’ah. Hal yang ditekankan pada pembahasan disini mengenai makna bid’ah, pengertian bid’ah yang dinilai Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai kesesatan dalam agama. Para ahli telah banyak mendefisinikan arti atau makna bid’ah meskipun terjadi perbedaan lafalnya yang kemudian menyebabkan perbedaan cakupan pada bagian-bagian pengertian bid’ah tersebut, tetapi tujuan akhir dari pengertian bid’ah tersebut adalah sama. Jika di tinjau dari sudut pandang bahasa, bid’ah adalah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira ‘/mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya. Seperti yang termaktub dalam Kitab Shahih Muslim bi Syarah Imam Nawawi dijelaskan sebagai berikut:
والمراد غالب البدع . قال أهل اللغة : هي كل شيء عمل على غير مثال سابق
“Dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh yang terlebih dahulu”[1]
Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian-pengertian bid’ah tersebut diantaranya:
البدعة: طريقة مستحدثة في الدين، يراد بها التعبد، تخالف الكتاب، والسنة وإجماع سلف الأمة
“Bid’ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk ta’abudi, bertentangan dengan al Kitab (al qur`an), As Sunnah dan ijma’ umat terdahulu
البدعة في مقابل السنة، وهي : (ما خالفت الكتاب والسنة أو إجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات) ، أو هي بمعنى أعم : (ما لم يشرعه الله من الدين.. فكل من دان بشيء لم يشرعه الله فذاك بدعة
Bid’ah adalah kebalikannya dari sunnah, dan dia itu apa-apa yang bertentangan dengan al qur`an, as sunnah, dan ijma’ umat terdahulu, baik keyakinnanya atau peribadahannya, atau dia itu bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di syari’atkan Allah dalam agama…maka segala dari sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
الْبِدْعَةُ فِي الشَّرِيعَةِ إحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bid’ah dalam syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasulullah shalallahu ta’ala ‘alaihi sallam.
وَعَنْ الْهَرَوِيِّ الْبِدْعَةُ الرَّأْيُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ الْكِتَابِ وَلَا مِنْ السُّنَّةِ
Dan dari al Harawi bahwa bid’ah ialah pendapat pikiran yang tidak ada padanya dari kitab (al Qur`an) dan as Sunnah.
Ibnu Hajar al As Qalani dalam Fathul Bari menjelaskan
والمراد بقوله ” كل بدعة ضلالة ” ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Dan yang dimaksud dengan sabdanya “Setiap bid’ah adalah sesat” yakni apa yang diadakan dan tanpa dalil padanya dari syari’at baik dengan jalan khusus maupun umum”[2]
Menurut Ibnu Taimiyah: ‘ Bid’ah dalam agama ialah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah. Adapun yang diperintahkan dengan perintah wajib dan sunnah serta diketahui perintah-perintah tersebut dengan dalil-dalil syar’i, maka hal itu termasuk yang disyari’atkan oleh Allah, meskipun terjadi perselisihan diantara ulama di beberapa masalah dan sama saja, baik hal itu sudah diamalkan pada masa Rasulullah atau tidak.
Menurut As-Syahtibi: ‘ Bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Menurut Ibnu Rajab: ‘ Yang dimaksudkan dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada dasarnya di dalam syari’at. Adapun suatu yang ada dasarnya dalam syara’, maka bukan bid’ah meskipun dikatakan bid’ah menurut bahasa.’
Menurut As-Suyuti: ‘ Bid’ah ialah suatu ungkapan tentang perbuatan yang bertentangan dengan syari’at karena menyelisihinya atau perbuatan yang menjadikan adanya penambahan dan pengurangan syari’at. ‘
Ulama bersefaham bahwa dari beberapa pengertian bid’ah tersebut diatas yang paling mengena pada maksud bid’ah yang dapat dikatakan sesat adalah yang diartikan oleh Iman As- Syathibi.[3] Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil pokok-pokok pengertian bid’ah menurut syara sebagai berikut:
a. Bid’ah ialah sesuatu yang diadakan di dalam agama. Maka tidak termasuk bid’ah sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia seperti pengadaan hasil-hasil industri dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi.
b. Bid’ah tidak memiliki dasar yang menunjukkannya dalam syari’at. Adapun hal-hal yang memiliki dasar-dasar syari’at, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada dalilnya dalam syari’at secara khusus. Contohnya pada zaman kita ini orang yang membuat alat alat seperti kapal terbang, roket, tank, dll. dari alat-alat perang modern dengan tujuan persiapan memerangi orang-orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan bid’ah meskipun syari’at tidak menjelaskannnya secara rinci, dan Rasulullah tidak menggunakan alat-alat tersebut untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya termasuk dalam firman Allah secara umum, ” Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja.” (Al-Anfal : 60). Begitu pula perbuatan-perbuatan lain yang semisal. Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia termasuk syari’at dan bukan bid’ah.
c. Bid’ah di dalam agama kadang-kadang dikurangi dan kadang-kadang ditambah, sebagaimana dijelaskan oleh As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih mantap dalam beragama, maka bukan bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap bid’ah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka bahwa bid’ah itu hanya ada dalam hal agama/ibadah, ini sesuai dengan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”[4]
Dan dapat kita lihat keterkaitan antara hadist diatas dengan hadist dibawah yaitu mengenai niat dalam beribadah:
Artinya: “Sesungguhnya segala amalan ibadah itu tergantung dari niat.”[5] Jadi para ulama bersepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah:
a. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT dan ikhlas kepada-Nya
b. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh yang beliau adalah gurunya Imam Asy Syafii, daa beliau juga adalah seorang faqih yang zaahid, ditanya tentang firman SWT, “….supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya….” (Al-Mulk:2), Penanya: “Amal apakah yang paling baik ??” Beliau menjawab: “yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar” Penanya: “Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab: “Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian meskipun amal ibadah itu benar namun dikerjakan dengan tidak ikhlas juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT dan yang dimaksud dengan benar adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah.[6]
Dengan demikian nyatalah bahwa segala sesuatu itu dianggap benar apabila ibadah dilakukan ikhlas dan sesuai dengan syari’at. Jika ada ulama yang berani mengatakan bahwa jika kita beribadah asalkan dengan niat yang ikhlas akan tetapi tidak dilakukan sesuai dengan syariat atau tidak ada perintahnya mengenai peribadahan tersebut akan diterima oleh Allah maka kadar keilmuan seorang ulama itu harus di pertanyakan. Bahkan ada pula sebagian dari para ustadz-ustadz di daerah yang mereka berani sekali mengatakain asalkan niat Lillahi Ta’aala maka segala sesuatunya itu bisa diterima atau ditolak itu menjadi urusan Allah. Karena manusia hanya berusaha Allahlah yang menentukan. Mereka (para ulama-ulama tersebut) lupa atau tidak mengetahui bahwa selain ikhlas harus juga sesuai/diperintahkan oleh syari’at.
Setelah hal tersebut diatas kemudian timbul lagi permasalahan baru yang disebut sebagai Bid’ah hasanah. Sebenarnya ungkapan bid’ah hasanah ini muncul ketika Umar r.a mendapati suatu kaum muslimin pada zamannya melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri dan bahkan ada yang berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan jumlah besar. Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada satu Imam, lalu beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat taraweh secara berjama’ah)”.
Yang kemudian bisa dijadikan pertanyaan adalah apakah benar qiyamul lail dengan berjama’ah di bulan Ramadhan itu temasuk bid’ah yang dikatagorikan kepada bid’ah yang menyesatkan? Hal ini dijawab oleh Syaikh Muhammd bin Shalih al Utsaimini bahwa hal tersebut bukan bid’ah akan tetapi termasuk sunnah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Aisyah r.a, bahwa nabi pernah melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-turut, kemudian beliau sholallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya pada malam berikutnya dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu tidak akan sanggup melaksakannya.”
Disini jelas sekali bahwa Umar r.a tidaklah mengada-ada atau membuat ajaran baru berupa qiyamul lail dibulan Ramadhan secara berjama’ah dengan satu imam, akan tetapi beliau r.a mencoba ingin menyatukan orang-orang yang shalatnya bersendiri-sendiri dan sebagian yang lain berjama’ah. Tidak mungkin apa yang Umar r.a ucapkan “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat taraweh secara berjama’ah)” adalah bid’ah yang sebagimana yang disabdakan Nabi: Setiap bid’ah itu adalah sesat.” Juga sesuatu yang tidak mungkin jikalau Umar r.a melakukan sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah salah seorang hamba dikalangan sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dan beliau juga dikatagorikan sebagai golongan generasi terbaik dan termasuk Khulafa Arasyidin yang lurus dan adil.
Disamping itu pula ada pendapat imam Syafii yang disalahkan artikan dari sebagian kaum muslimin yang kemudian dijadikan kontrovesi dan perselisihan, dan sebagian para ulama berlindung pada qaul Imam Syafi’ie ini. Yaitu tentang pembagian bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi‘ah (buruk). Imam Syafi’I berkata:
عَنْ حَرْمَلَة بْنِ يَحْيَ رَحِمَهُ اللهُ قَالَ : سَـمِعْتُ الشَّا فِعِيَّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ : اَلْبِدْعَةُ بِدْ عَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مُحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السَّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْم .ٌ
Dari Harmalah bin Yahya rahihullah berkata: “Aku mendengar as Syafi’ie rahimahullahu ta’ala berkata: Bid’ah ada dua, yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Apa yang bersesuaian dengan sunnah maka itu adalah terpuji dan apa yang bertentangan dengan sunnah berarti tercela.”[7]
وَقَالَ الرَّبِيْعُ رَحِمَهُ اللهُ : قَالَ الشَّـافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اَلْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلاُمُوْرِ ضَرْبَانَ : اَحَدُهُمَا مَا اَحْدَثَ يُخَالِفُ كَتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْاِجْمَاعًا اَوْ اَثَرًا فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ . وَالثَانِيْ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا فَهِيَ غَيْرُ مَذْمُوْمَة.
Berkata Ar-Rabbi rahimahullah: Telah berkata as-Syafi’ie rahimahullahu Ta’ala: perkara-perkara yang diadakan terbagi dua: yang pertama apa yang di buat bertentangan dengan al-Kitab (al Qur’an), Sunnah, Ijma atau atsar, maka inilah bid’ah yang sesat. Kedua apa yang di buat berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari perkara (al Qur’ah, Sunnah, Ijma, dan atu atsar) maka itu perbuatan yang tidak tercela.[8]
“Bid’ah itu terbagi kepada yang baik dan yang buruk, atau yang terpuji dan tercela. Dalam perkara ini, termasuklah setiap yang diada-adakan selepas zaman Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dan para Khulafa Ar-Rasyidin”[9]
Persoalan-persoalan qaul Imam Syafii ini telah dijelaskan oleh salafus shalih, diataranya Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nasir as-Shaibani rahimahullahu dalam kitabnya اللمع فى الرد على محسني البدع hal 36 - 37.
Beliau menjelaskan qaul Imam Syafii tersebut diantaranya:
a. Tidak diterima seharusnya perkataan sesorang manusia yang bertentangan dengan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam walau siapapun orangnya. Sabda Nabi adalah hujjah bagi setiap orang dan bukan perkataan seseorang itu menjadi hujjah untuk menentang/meninggalkan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam[10] sedangkan nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda tentang bid’ah:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Artinya: “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dari neraka.”[11] Dalam hal ini juga Abdulah bin Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata:
Artinya: Tidak ada pendapat seseorang (yang) dapat diambil atau ditinggalkan kecuali sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam.[12] Sebagai kesimpulan bahwa pendapat seseorang itu tidak bisa berketerusan diterima bila bertentangan dengan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam.
c. Bagi siapa yang mau mencoba untuk memahami tentang qaul Imam Syafii maka dia tidak akan ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksudkan dengan Imam Syafii bid’ah dari segi bahasa (لغوى) bukan syar’i (شرعي). Ini berdalilkan kenyataan dari Imam Syafii sendiri sesungguhnya setiap bid’ah dalam syara bertentangan dengan al Qur’an dan As-Sunnah. Imam Syafie sendiri mengaitkan bid’ah yang baik dengan apa yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan as-Sunnah karena setiap bid’ah bertentang dengan firman Allah dan hadist Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Seperti firman-Nya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Artinya: Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agamamu (Al Maidah: 3) dan juga sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”[13] Lalu yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh Imam Syafie sebagai bid’ah hasanah/mahmudah (baik/terpuji), yaitu pembukuan mushaf mushaf Al qur’an, kitab-kitab hadist dan shalat tarawih, ini amat tepat menurut definisi bahasa karena walaupun ia tidak ada contoh sebelumnya tetapi dia ada dasarnya dari syara yakni uncapan dari para sahabat Rasul sholallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga pembinaan madrasah karena menuntut ilmu itu wajib menurut syara. Jadi semua yang berkaitan dengan dunia yang tidak memudharatkan adalah sesuatu yang baru lagi baik/terpuji karena tidak bertentangan dengan syara.
Penjelasan tersebut diatas menunjukan bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji sebenarnya bukanlah bid’ah, karena ia tidak melibatkan urusan agama hanya di sangka bid’ah lantaran kurang memahami istilah bid’ah menurut bahasa dan syara. Adapun bid’ah yang dianggap sesat setelah didapati secara qath’I ialah yang bertentangan dengan al Qur’an dan as sunnah dan juga tiada dalil syara yang menyertainya.
d. Sebenarnya bagi ulama yang mengetahui pendirian Iman Syafie rahimahullah yang tegas, beliau sangat teliti dalam mengikuti Sunnah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan sangat membenci kepada muqallid (orang yang bertaqlid buta) dan orang yang menolak hadist Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Maka sepatutnyalah seseorang itu tidak berprasangka terhadapnya sehingga kita dapati pandangan beliau terhadap hadist sahih. Terutama hadist ” Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat”. Maka dari itu yang paling tepat dan benar ialah bahwa ucapan Imam syafie ini semestinya di letakkan di tempat yang sesuai dengan hadist tersebut bukan dijadikan alasan untuk menentang hadist tersebut, karena apa yang dimaksudkan Imam syafie ialah bid’ah dari segi bahasa (lughah) bukan dari segi syara’ atau dalam persoalan agama. Imam Syafie rahimahullah menegaskan:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اِذَا وَجَدْتُمْ فِى كِتَابِيْ خِلاَفَ سُنَّةَ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِهَا وَدَعُوْا مَا قُلْتُه.ُ
“Apabila kamu temui di dalam Kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka berkatalah (ambil/peganglah} kamu dengan sunnah tersebut dan hendaklah kamu tinggalkan apa yang telah aku katakan.”[14]
Jika ditinjau dari segi bahasa bahwa sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi “Kullu” ini bermakna bahwa setiap atau semua. Kata Kullu ini juga dapat dipahami “semua atau setiap” seperti dalam Firman Allah surah Al Imran ayat 185, yang berbunyi ” Kullu nafsin zaa iqotul maut yang artinya Setiap atau Semua yang bernyawa pasti akan mati. Kullu disini mencakup segala-galanya, maka kata “Kullu”secara sah dan secara nyata bahwa tidak ada benda yang benyawa yang tidak akan mati.
Jadi sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam “Kullu Bid’atin dhalalah” sudah tentu mencakupi semua bid’ah pasti sesat tanpa harus adanya bid’ah yang baik dalam hal syara’. Dengan demikian jelaslah bahwa semua dalil yang ada bersifat umum dan mutlak meskipun banyak tetapi tidak ada pengecualian sedikitpun dan sudah menjadi ketetapan ilmu ushul bahwa setiap kaidah syar’i yang umum atau dalil syar’i yang umum bila berulang-ulang di banyak tempat dan mempunyai pendukung-pendukung, serta tidak ada pembatasan dan tidak ada pengkhususan, maka hal tersebut menunjukkan tetap dalam keumumannya
Oleh karena itu tidak layak bagi ulama zaman sekarang untuk berlindung dibalik ungkapan “Ini adalah bid’ah hasanah” bila di kaitkan dengan hal ibadah karena tidak ada jaminan dari Nabi bahwa ulama sekarang adalah sebaik-sebaiknya generasi yang disebutkan dalam sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadi intinya perkataan seorang ulama boleh diterima atau di tolak terkecuali Sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang mengharuskan kita terima. Yang terpenting adalah bagaimana beramal yang ikhlas dan sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.
Mengapa Islam keras terhadap permasalahan Bid’ah
Permasalahan bid’ah memanglah sangat ditentang oleh agama karena bid’ah akan membawa kesesatan dan setiap kesesatan itu berasal dari neraka, bahkan Nabi kita sendiri yang menyebutnya bahwa “setiap bid’ah itu adalah sesat.” [15] Maka dari itu sangatlah berbahaya sekali bid’ah ini, karena bid’ah bisa mematikan sunnah dan merupakan seburuk-buruknya perkara.
Saya kutipkan dari beberapa kitab hadist yang menyatakan bid’ah itu adalah sesat, dan perlu kita ketahui yang mengatakan sesat ini bukanlah dari seorang ulama akan tetapi dari Nabi kita shalallahu ‘alai sallam, diantaranya:
  • Dalam kitab Shahih Bukhari diriwayatkan sebagai berikut:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَإِنَّ مَا تُوعَدُونَ لآتٍ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ
“Berkata Abdullah sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakannya dan (sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang, dan kamu tidak sanggup menolaknya - Surah Al An’am: 134)[16]
  • Dalam shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bersabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sebagai pendahuluan sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”[17]
  • Dalam Kitab Sunan Abu Dawud diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Syariyah, Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإ ِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan dengarlah serta ta’atlah sekalipun kepada budak Habsyi, karena sesungguhnya orang hidup diantaramu sesudahku dikemudian hari maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu hendaklah kamu sekalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapat petunjuk dan lurus, hendaklah kamu berpegang dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham mu (berpegang teguh) dan jauhilah oleh kamu sekalian akan perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.[18]
  • Dalam Sunan Attirmidzy diriwayatkan dari Katsir bin Abdullah dari bapaknya dari neneknya:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لِبِلاَلِ بْنِ الْحَارِثِ « اعْلَمْ ». قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « اعْلَمْ يَا بِلاَلُ ». قَالَ مَا أَعْلَمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أَنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِى فَإِنَّ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ يَرْضَاهَا اللَّهُ وَر َسُولُهُ كَا نَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَا مِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذ َلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
“Bahwasannya Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal bin Harits (Ketahuilah) Bilal berkata: apa yang harus aku ketahui ya Rasulullah, Bersabda Nabi (Ketahuilah Ya Bilal), Bilal Berkata apa yang harus aku ketahui Ya Rasulullah, Rasulullah bersabda: {Sesungguhnya siapa yang menghidupkan Sunnah dari Sunnahku yang sungguh telah dimatikan dimasa sesudahku, maka sesungguhnya ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengada-adakan bid’ah yang sesat yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya maka baginya seperti dosa-dosa yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi yang demikian dari dosa-dosa orang-orang itu}. Berkata Abu ‘Isa hadis ini hasan.[19]
  • Dalam Sunan An Nasaai diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Bersabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِى عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِىَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْىِ هَد ْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُو رِ مُحْدَثَا تُهَا و َكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Adalah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dia bersabda dalam khutbahnya dengan memuji kepada Allah dan kepadanya dan kepada keluarganya, kemudian dia bersabda barang siapa yang ditunjuki Allah maka tidak ada yang menyesatkan kepadanya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada ada yang memberi petunjuk kepadanya, sesungguhnya sebenar-benarnya perkataan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan dari neraka.”[20]
  • Dalam Mukadimah Sunan Ibnu Majah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ الْكَلاَمُ وَالْهَدْىُ فَأَحْسَنُ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللَّهِ وَأَحْسَنُ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ أَلاَ و َإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya tiada lain melainkan dua yaitu al Kalam (perkataan) dan petunjuk, maka sebaik-baiknya kalam adalah Kalam (firman) Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam, ketahuilah hendaklah kamu menjauhi perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, ia berkata: bersabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَ لاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنَ الْعَجِين
“Allah tidak akan menerima puasanya orang yang berbuat bid’ah, tidak menerima shalatnya, tidak menerima shadaqahnya, tidak menerima hajinya, tidak menerima umrahnya, tidak menerima jihadnya, tidak menerima taubatnya, dan tidak menerima tebusannya, ia keluar dari islam sebagaimana keluarnya helai rambut dari tepung.
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah bersabda:
أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
“Allah enggan bahwasannya menerima amal perbuatan bid’ah hingga dia meninggalkan bid’ahnya”
  • Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal diriwayatkan dari al Qasim bin Abdurrahman, dari bapaknya dari Abdullah, ia berkata:
إِنَّهُ سَيَلِى أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِى رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا. قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِى إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ قَالَ « لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ». قَالَهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Sesungguhnya seburuk-buruknya perkara kamu sekalian sesudahku yaitu seseorang yang mematikan sunnah, mengada-adakan bid’ah dan mengakhirkan shalat dari waktunya, berkata ibnu Mas’ud Ya Rasulullah bagaimana apabila aku mengetahui mereka, Rasul bersabda: Ya Ibnu Ummi ‘Abdin tidak ada keta’atan bagi orang yang durhaka kepada Allah” Dia berkata tiga kali.”[21]
Disamping hal tersebut diatas Dr. Yusuf Qardhawi dalam Kitabnya As Sunnah wal Bid’ah menjelaskan mengenai bahaya bid’ah diantaranya:
a. Pembuat dan pelaku bid’ah mengangkat dirinya sebagai pembuat syariat baru dan sekutu bagi Allah Swt. Bila bid’ah dapat dibenarkan dalam Islam maka bukan tidak mungkin bila kemudian Islam akan menjadi agama yang sama dengan agama-agama sebelumnya, yang ahli-ahli agamanya menambahkan hal-hal baru dalam agamanya dengan hawa nafsunya sehingga pada akhirnya agama tersebut berubah sama sekali dari yang aslinya. Dengan demikian, orang yang membuat bid’ah meletakkan dirinya seakan-akan sebagai pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah. Sebagai contoh para mufasir menafsirkan ayat:
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: Bukan jalan orang-orang dimurkai atas mereka, yaitu mereka yang telah mengetahui kebenaran yang hak tetapi tidak melaksanakannya, dan berpindah kepada yang lain seperti orang-orang Yahudi, mereka telah mengetahui kitab Allah, tetapi tidak melaksanakannya, dan pada ayat selanjutnya Bukan jalan orang-orang yang sesat (al-Fatihah: 7) yaitu orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri diluar yang digariskan oleh Allah dan para Rasul-Nya. Contoh dalam hal ini ialah kaum nasrani karena mereka mengikuti kebenaran akan tetapi mereka tidak benar dalam melakukannya sebab tidak sesuai dengan yang telah disyari’atkan.
Ada sebuah hadis yang sahih dirawikan oleh Abd bin Humaid dari ar-Rabi bin Anas, dan Riwayat Abd bin Hummaid juga dari pada Mujahid, demikian juga daripada Said bin Jubair dan hadist lain yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan lain-lain daripada Abdullah bin Syaqiq, daripada Abu zar, dan diriwayatkan juga oleh Sufyan bin Uyaynah dalam tafsirnya, daripada Ismail bin Abu Kholid. Bahwa Ady bin Hatim r.a. bertanya kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam., “Siapakah yang dimurkai Allah itu?” Jawab Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam., “Alyahud (Yahudi)”. “Dan siapakah yang sesat itu?” Jawab Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. “An-Nashara (Kristen/Nasrani)”.
Yang wajib ditekankan ialah kepada sebab-sebab maka Yahudi dikatakan terkena murka dan sebab-sebab nasrani tersesat. Yahudi dimurkai karena mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawakan oleh rasul-rasul mereka, kisah pengingkaran yahudi tersebut di dalam kitab-kitab mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi Musa AS, pernah mengatakan bahwa mereka itu keras kepala, tak mau tunduk, sampai mereka membunuh Nabi-nabi Allah. Nashoro tersesat karena sangat cintanya kepada Nabi Isa Al masih, mereka katakan Isa as itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang kedunia menebus dosa manusia dan juga mereka membuat syari’at-syariat baru dan menambah-nambahkannya diluar dari yang ditetapkan oleh rasul-Nya. Oleh karena itu Allah mengecam tindakan kaum nasrani ini dengan firmannya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga (mempertuhankan) Almasih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Maha suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.” (At-Taubah: 31)
Sebuah hadist yang diriwayat oleh Imam At-tarmidzy, dari Ady bin Hatim ra. “Bahwa ketika dakwah rasulullah sampai kepadanya, Ady lari menuju syam, ketika itu dia masih beragama Nasrani, akan tetapi saudara perempuannya telah masuk islam. Lalu saudara perempuannya membujuk Ady untuk memeluk Islam. Ady kemudian setuju dan kemudian datang menghadap Rasul dan keadaan dilehernya tergantung tanda salib yang terbuat dari perak. Ketika Rasul melihat salib tersebut, Rasul membaca ayat “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib dari kalangan mereka sebagai tuhan selain Allah….(at-taubah: 31). Ketika Ady mendengar ini, dia menjawab: Tidak ya Rasulullah, mereka tidak melakukan apa yang engkau katakan. Kemudian Rasul menjawab: “Tetapi mereka mengharamkan apa yang telah di halalkan, dan menghalalkan apa yang telah di haramkan oleh Allah. Dan bila ketetapan ini dilakukan oleh kaumnya, inilah yang di maksudkan bahwa mereka telah menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib di kalangan mereka sebagai Tuhan mereka.
Oleh karena tersebut diatas sudah selayaknya kita sebagai mu’min tidak mengikuti pola yang telah diterapkan oleh kaum Nasrani tersebut. Bahwa mutlak yang namanya ibadah yang berkaitan dengan syari’at itu harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar kita tidak termasuk umat yang salah jalan.
b. Pembuat bid’ah memandang agama tidak lengkap dan bertujuan melengkapinya. Hal ini bertentangan dengan surat Al-Maidah:3 …Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam sebagai agamamu.” Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik–Imam Darul Hijrah–bahwa dia berkata, “Siapa yang telah membuat praktek bid’ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam telah menghianati risalah. Dasarnya adalah ayat di atas. Agama Islam telah sempurna sesuai pernyataan ayat tersebut dan tidak membutuhkan penambahan lagi.
c. Praktek Bid’ah Mempersulit Agama dan menghilangkan sifat kemudahannya. Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid’ah mengubah sifat mudah itu menjadi susah dan berat. Misalnya: Redaksi shalawat yang paling afdhal adalah shalawat yang biasa kita baca ketika Tashawud akhir. Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi, Mungkin hanya 1/4 atau 1/2 menit. Namun banyak orang yang mengarang dan membuat redaksi-redaksi shalawat baru kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang tidak diperintahkan oleh Allah Swt.
d. Bid’ah dalam agama mematikan sunnah. Jika seseorang mencurahkan energinya untuk melaksanakan perbuatan bid’ah, niscaya energinya untuk menjalankan Sunnah menjadi berkurang karena kemampuan manusia terbatas. Sebagai contoh dalam sebuah majlis dzikir yang dipimpin oleh seseorang kemudian didalamnya seseorang tersebut memerintahkan kepada pengikutnya untuk membaca misalnya Alfatihah 100X, Al Ikhlas 111 X, Annas 111 X, dan Al falaq 111 X dan sebagainya, dengan tujuan yang tidak jelas dapat ilmunya dari mana akan tetapi ia berani mengatakan bahwa hal ini dilakukan untuk taqarrub kepada Allah, bahkan terlebih parah lagi jikalau untuk sesuatu yang bersifat magic seperti untuk ilmu kebatinan, kekebalan dan lain sebagainya. Dan jelaslah bahwa bid’ah itu dapat menguras energinya sehingga sunnah yang berasal dari Rasulnya tidak terpelajari karena waktu habis terkuras dengan bacaan-bacaan yang bukan di syari’atkan oleh Allah dan Rasul-nya. Apakah lebih baik jika kita membuka dan mempelajari Al Quran/tafsirnya dan Kitab-kitab hadist.
e. Bid’ah dalam agama membuat manusia tidak kreatif dalam urusan-urusan keduniawian. Generasi Islam yang pertama banyak menelurkan kreativitas dalam bidang-bidang duniawi dan mempelopori banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ilmu-ilmu Islam yang dihasilkan pada saat itu seperti ilmu alam, matematika, astronomi dan lain-lain menjadi ilmu yg dipelajari dunia dan masyarakat dunia belajar tentang ilmu-ilmu itu dari kaum muslimin. Mayoritas yang melatar belakangi generasi Islam pertama ini menggeluti dan mengembangkan ilmu-ilmu tadi adalah motif agama. Misalnya: Al-Khawarizmi menciptakan ilmu aljabar salah satunya untuk menyelesaikan masalah2 tertentu dalam bidang wasiat dan warisan. Karena sebagian darinya memerlukan hitungan-hitungan matematika. Kelihatan bahwa dalam bidang agama mereka semata berpegang pada nash dan Al-Qur’an sedang dalam bidang kehidupan mereka berkreasi.
f. Bid’ah dalam Agama memecah belah dan menghancurkan persatuan umat. Berpegang teguh pada Sunnah akan menyatukan umat sehingga dapat menjadi satu barisan kokoh di bawah bimbingan kebenaran yang telah diajarkan oleh Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam. Karena Sunnah hanya satu sedang bid’ah tidak terbilang jumlahnya. Oleh karena itu, bila kita secara konsekuen mengikuti Sunnah maka saat itu mereka bersatu padu. [22]
Setelah mengetahui bahwa begitu bahayanya bid’ah tersebut maka seharusnyalah kita menghindari dari hal tersebut diatas. Maka dari itu tetaplah berpegang pada Al qur-an dan Assunah, atsar dan ijma sahabat, Tabi’in dan tabi’ut tabi’in karena mereka orang yang dinyatakan Rasulullah sebaik-baiknya generasi. Berikut firman-firman Allah serta nasihat-nasihat yang diberikan oleh Nabi-Nya dan generasi terbaik yang telah tersebut diatas dan para salafus shalih untuk tidak berpecah belah lantaran perbuatan bid’ah diantaranya:
a. Firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 102 - 103
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ - وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: Hai Orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan perpeganglah kamu semua dengan dengan tali Allah dan jangan berpecah-belah. Dan ingatlah nikmat Allah terhadapmu ketika kamu saling bermusuhan maka Dia satukan hati kamu lalu kamu menjadi saudara dengan nikmat-Nya dan ingatlah ketika kamu berada di bibir jurang neraka lalu Dia selamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk.
b. Firman Allah dalam Surah Al An’am ayat 153
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus[23] maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (lainnya)[24] sebab jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu mudah-mudahan kamu bertaqwa.
c. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara untuk kamu …diantaranya: dan hendaklah kamu berpegang dengan tali Allah.”[25]
d. Dari abdullah bin Amr ra, dia berkata: ‘Rasulullah bersabda’: “Setiap amal perbuatan memiliki saat untuk semangat dan setiap semangat memiliki waktu lemah. Maka setiap waktu lemahnya kembali kepada sunnahku maka dia mendapat petunjuk, dan barang siapa waktu lemahnya kembali kepada bukan sunnahku maka dia akan celaka.”[26]
e. Hudzaifah bin Al Yaman r.a berkata: “Hai para qari (pembaca Al qur’an) bertaqwalah kepada Allah dan telusurilah jalan-orang-orang sebelum kamu, sebab Demi Allah seandainya kamu melampaui mereka (para sahabat), sungguh kamu melampaui sangat jauh, dan jika kamu menyimpang ke kanan dan kekiri maka kamu akan tersesat sejauh-jauhnya.”[27]
f. Ibnu Mas’ud berkata: “Ikutlah (sunnah) dan jangan berbuat bid’ah, sebab sungguh itu (sunnah) telah cukup untuk kalian. Dan bahwa setiap bid’ah itu adalah sesat.” [28] Dan dia r.a juga berkata: “Berpeganglah kamu dengan ilmu (as-sunnah) sebelum diangkat, dan berhati-hatilah kamu dari mengada-adakan hal yang baru (bid’ah), dan melampaui batas dalam berbicara dan membahas suatu perkara, hendaklah kalian tetap berpegang dengan contoh yang lalu.” [29] Dan dia r.a juga berkata lagi: “Sederhana dalam as sunah[30] lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah”[31]
g. Imam Azuhry berkata: Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan as-sunnah itu adalah keselamatan. Dan ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).”[32]
h. Sa’id bin Jubair[33] berkata: “mengenai ayat - Dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk” (Surah thaha: 82), yaitu senantiasa berada diatas As-Sunnah dan mengikuti al-Jama’ah).”[34]
i. Ibnu Abbas r.a berkata: “Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.”[35]
j. Imam Al Auza’i rahimahullah berkata: “Berpeganglah dengan atsar salafus shalih meskipun seluruh manusia menolakmu, dan jauhilah pendapat orang-orang (selain salafus shalih) meskipun mereka (ahli bid’ah) menghiasi perkataannya terhadapmu.”[36]*
Demikianlah nasihat-nasihat Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan pendapat para generasi terbaik dari umat ini mengenai bid’ah, maka selayaknya mereka itu semua dapat di jadikan ikutan buat kaum muslimin zaman sekarang. Hal ini mereka (para sahabat, generasi setelahnya, dan setelahnya lagi) lakukan demi murninya ajaran Islam dan tidak dikotori oleh bid’ah yang menyesatkan. Ulama-ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam sesudahnya, telah dapat kita lihat kebaikannya pada abad-abad kemuliaan, dan mereka telah bersepakat dalam mencela, memburukkan, menjauhi bid’ah dan pelakunya serta tidak ada keragu-raguan dan tawaquf (berdiam diri). [37]
Footnote

[1] Lih: Kitab Shahih Muslim bi syarah An Nawawi pada Kitab Jum’at ketika membahas masalah “Kullu Bid’atun Dhalaalah”
[2] Lih: Fathul Bari bi syarah Shahih Bukhari Kitab Al I’thisham bikitabi wa sunnah, ketika menjelaskan hadist “sebaik-baiknya ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dst…
[3] Nama lengkap dari Imam As-Syathibi ialah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Gamathi. Ia adalah seorang ahli ushul fiqh dan hafizh hadist dari kalangan penduduk Garnathah (Grenada - sekarang). Disamping itu ia juga seorang imam madzhab Maliki. Wafat pada tahun 790H/13788 M, (lih: al-A’laam, Zerekly: 10/75). Karya-karya beliau diantaranya al-muwafaqaat fi ushul asy-syaria’ah, dan al-Iti’shaam fi bayaan as sunnah wal bid’ah.
[4] Muttafaq ‘alaih, dari ‘Aisyah r. lih: Syarh Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-syawisy dan syu’aib al-arnauth, 1/211, hadist no.103, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lih al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 1/112, hadist no.32 dan Hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam empat puluh hadits (atau dikenal dalam Kitab Hadist Arba’in)
[5] Penggalan hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Bab Permulaan Wahyu, Muslim dalam Kitab al-Imaarah.
[6] As Sunnah wal Bid’ah karya Syaikh Yusuf Qardhawi hal 17-19
[7] Lih: Kitab الباعث على انكار البدع والحوادث karya Abi Syamah as-Syafie hal 12, dan dan juga Ibnu Hajar al Asqalani mengutipnya dalam Kitabnya Fathul Bary bi syarah Shahih Bukhari pada Kitab al I’thisham bi kitabi wa as sunnah bab “الاقتداء بسنن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“, ketika beliau rahimahullah menjelaskan hadist [‏إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي ‏ ‏محمد ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وشر الأمور محدثاتها].
[8] Kitab Al Haul karya As Suyuti, tahqiq Muhammad Muhyidin Abdul Hamid hal: 539 dan juga Ibnu Hajar al Asqalani mengutipnya dalam Kitabnya Fathul Bary bi syarah Shahih Bukhari pada Kitab al I’thisham bi kitabi wa as sunnah bab “الاقتداء بسنن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“, ketika beliau rahihullah menjelaskan hadist [‏إن أحسن الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي ‏ ‏محمد ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وشر الأمور محدثاتها]
[9] Lih. Al-bid’ah Tahdiidiha wa mauqif al-Islami Minha karya Izzat Ali ‘Athiah hal 160
[10] Manaqib as- Sayfie hal 469
[11] Lafazh tersebut Kitab Sunan An Nasaii dalam Kitab Shalat ‘Iedain, dan hadist semakna adalah banyak.
[12] Fatawa aimatul Muslimin I/138 karya Mahmud Khatab as-Subki
[13] Muttafaq ‘alaih, dari ‘Aisyah r. lih: Syarh Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-syawisy dan syu’aib al-arnauth, 1/211, hadist no.103, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lih: al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 1/112, hadist no.32 dan Hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam emapat puluh hadits (atau dikenal dalam Kitab Hadist Arba’in)
[14] Al Majmu Fatawa’ I/63
[15] HR Muslim dan Baihaqi dan Baihaqi menambahkan dalam Kitab Asma wa Sifat: Wa kullu dhalalatin fin nar dan An-Nasi’I meriwayatkan pula dengan sanad yang sahih.
[16] Lih: Shahih Bukhari Kitab Al I’thisham bi kitabi was sunnah bab al Iqtadaa`i bisunnani Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam
[17] Lih: Kitab Shahih Muslim Kitab Jum’at
[18] Lih: Kitab Sunan Abu Dawud pada Kitab As Sunnah, Sunan Ibnu Majah pada Mukadimahanya, Sunan Ad Darimy pada Kitab Mukadimah
[19] HR At Tirmidzy pada Kitab ‘Ilmu dan ia menghasankannya dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dimukadimahnya.
[20] Lih: Kitab Sunan An Nasaii pada bab Shalat ‘Ieddain.
[21] Lih: Musnad Ahmad dalam bab Musnad Abdullah bin Mas’ud ra.
[22] Lih: As Sunnah wal Bid’ah karya Dr. Yusuf Qardhawi, adapun contoh dan lain sebagainya adalah penambahan dari penulis.
[23] Ibnul qayim menafsirkan masksud dari jalan lurus ialah meng-Esa-kan Allah dalam beribadah dan menjadikan rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai satu-satunya ikutan
[24] Jalan-jalan lain tersebut ialah berbagai bid’ah, khurafat dan syubhat sebagaimana ucapan Mujahid dan lain-lain tafsir
[25] HR Al-Baghawy I/202 no.101
[26] HR Ahmad dan Ibnu Hibban
[27] As-Sunnah Ibnu Nashr dan Al Laikal I/90.
[28] AS-Sunnah Ibnu Nashr 28
[29] Ad Darimy 1/66 no. 143, al Ibanah Ibnu Baththah 1/324 no. 169
[30] Sederhana dalam sunnah maksudnya tetap dalam as-sunnah meskipun hanya mengamalkan yang wajib. Syaikh Ali Hasan berkata: Kata-kata mutiara dari sahabat rasul ini juga diriwayatkan oleh banyak sahabat lainnya seperti Abu Darda. Abul Ahwas berkata: ” Wahai Sallam, tidurlah dengan cara sunnah dan itu lebih baik bagimu daripada bangun dengan cara bid’ah.
[31] Ibnu Nashr 30, al Ibanah Ibnu Baththah 1/320 no. 161 dan Al Laikal 1/88 no. 114
[32] Ad Darimy I/58 no.16
[33] Murid dari Ibnu Abas r.a
[34] Al-Ibanah 1/323 no. 165 dan Al-Laikal 1/71 no.72
[35] Al - Itisham 1/112
[36] Kitab as-Syari’ah 63 - *Sebagian dari permasalahan ini bisa dilihat di Kitab Lammudzur Mantzur Min Qaoulin Mantzur karya Abu Abdullah Jamal bin Farihan Al-Haristi
[37] Pembahasan mengenai Sunnah dan bid’ah ini saya ambil dari beberapa kitab diantaranya: Shahih Bukhari dan Fathul Bari syarah Sahih Bukhari, Shahih Muslim bi Syarah Imam An Nawawi, Sunan Attirmidzy, Sunan Ibnu Majah, Sunan An Nasai, Sunan Ad Daarimiy, Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Al Baihaqi, Mauqif ahlus sunnah wal jama’ah min ahli ahwa` wa al bid’a oleh Ibrahim bin Amir ar Ruhaili, Sunah wa al Bid’ah oleh Yusuf Qadhrawi, Ahlus sunnah wal Jama’ah oleh Abu Muhammaad Dzulqarnain, Mauqif Ahluus Sunnah wal Jama’ah min ‘ulamaaniyah oleh Muhammad ‘Abdul Haadi al Mashuriy, Mauqif Ahlus sunnah wa Jama’ah minal bid’a wa al mubtadi’ah oleh Syaikh Abdur Rahman ‘Abdul Khaliq, Man hum ahlus sunnah wal jama’ah wa man hum ahlul bid’a wa Adhalaal oleh Syaikh Islam Taqiyuddin bin Tayimiyah, Hadist Arba’in oleh Imam Nawawi, Kembali kepada Al Quran dan As Sunnah oleh KH Munawar Chalil, Fatawa al Kubra oleh Ibnu Taymiyah pada Kitab Sunnah wa Bid’ah, Tariiqah Mahmuudiyah fii Syarah Thariqah Muhammadiyah wa syari’ah nabawiyah pada bab al awalu li I’thosham bikitabi wa as sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar