Rabu, 09 November 2011

HUBUNGAN SOSIAL DALAM ISLAM


Manusia adalah makhluq sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin ajaran Islam. Maka Islam menganjurkan ummatnya untuk saling ta’awun dalam kebaikan saja dan tidak dibenarkan ta’awun dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2)
Oleh karena itu manusia selalu memerlukan oranglain untuk terus mengingatkannya, agar tak tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan bahwa peringatan ini amat penting bagi kaum muslimin.
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyat: 55)
Bahkan Allah SWT menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. (QS: Al Ashr: 1-3). Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya dan upayanya untuk senantiasa mengadakan tashliihul mujtama’, perubahan ke arah kebaikan, pada masyarakat dengan memanfaatkan peluang, momen yang ada.
Jika kita berada di bulan Ramadhan maka bisa melakukan ta’awun, misalnya dengan saling membangunkan untuk sahur, mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu selama menjalankan puasa. Mengingatkan agar jangan menyia-nyiakan puasa dengan amalan yang dilarang syari’at, dsb. Di bulan Syawal, lebih ditingkatkan lagi dengan hubungan sosial yang berkelanjutan, mengesankan. Bulan Dzulhijjah juga momen penting untuk merajut kembali benang-benang ukhuwah. Tentu saja hari-hari selain itu perlu kita tegakkan aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan seruan Islam.
1. Silaturahim
Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.
“…barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)
3. Menghormati tetangga
Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.
“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)
Apa saja yang bisa dilakukan untuk memuliakan tetangga, diantaranya:
- Menjaga hak-hak tetangga
- Tidak mengganggu tetangga
- Berbuat baik dan menghormatinya
- Mendengarkan mereka
- Menda’wahi mereka dan mendo’akannya, dst.
4. Saling menziarahi.
Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.
“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyaroh pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyaroh kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).
5. Memberi ucapan selamat.
Islam amat menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan, kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan sarana yang disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa menggunakan kartu ucapan selamat, mengirim telegram indah, telepon, internet, dsb.
Sesungguhnya ucapan selamat terhadap suatu kebaikan itu merupakan hal yang dilakukan Allah SWT terhadap para Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan surga. Misalnya;
“Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik daripadanya” (Az Zumar: 17).
“Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan mendapat putra yang sopan santun (sabar)”. (Al Maidah: 101),
Rasulullah SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para sahabatnya semisal, Abu bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman RA, Ali RA, dsb.
6 Peduli dengan aktivitas sosial.
Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.
“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).
7. Memberi bantuan sosial.
Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: 1-3).
BERINTERAKSI DENGAN NON MUSLIM
- Muamalah dengan yang setimpal.
- Tidak mengakui kekufuran mereka.
- Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
- Mengasihani mereka dengan rohamh insaniyah.
- Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan , menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka lingkungan kita akan “surplus kebaikan”. Dus, defisit keburukan.
Sementara yang terjadi sekarang adalah tata kehidupan sosial masyarakat yang “surplus keburukan”. Seseorang tidak akan merasa aman membawa uang dalam jumlah besar di jalan raya, di bus kota. Orang tidak tenang meninggalkan hartanya tanpa adanya sistem keamanan yang ketat. Fenomena seperti orang mudah sekali terprovokasi untuk anarkhi, mudah sekali berkelahi, masalah kecurangan, tipu menipu dalam perdagangan, dan sebagainya yang meliputi di hampir setiap bidang kehidupan kita. Semua membuat sesaknya nafas kehidupan ini. Memang sebenarnya negara ini bukan disesakkan oleh jumlah penduduknya tetapi akhlaq yang buruklah yang menyesakkan dada.
Atas dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan, sehingga orang mudah menemukan kebaikan dimana saja dia berada. Seseorang mudah mendapatkan salam dan senyum ketika bertemu orang lain walaupun belum saling kenal, tidak mudah curiga terhadap yang lain, banyak orang yang mampu menahan marah, mendapati orang suka berbuat baik, menolong dsb. Kondisi kehidupan seperti ini layaknya kehidupan zaman Rasulullah SAW, ataupun para salafush sholeh, dimana banyak orang berbuat baik tanpa disuruh dan diminta, hanya kerena mengharap ridho Allah SWT semata. Kita masih ingat kisah dua orang di zaman salafush shaleh, sedang mengadakan tarnsaksi jual beli sebidang tanah. Tanah telah dibeli oleh seorang pembelinya dan diolah tanah tersebut, ternyata dia mendapatkan sebatang emas dalam timbunan tanah tsb. Lantas dikembalikannya emas itu kepada si penjual, tapi ditolaknya, lantaran dia telah menjual semuanya apapun didalamnya. Namun si penemu emas (pembeli) tak bersedia menerima kembali karena dia hanya bermaksud membeli tanah. Terjadilah cek-cok saling menolak batangan emas. Akhirnya diadukan ke qodli, dan diputuskan dengan adil. Orang yang menemukan emas menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan si penjual tanah, dengan mahar emas tsb. Maka selesailah masalah.
Demikianlah jika setiap kita suka berlomba dalam kebaikan maka dampaknya, yang akan menikmati hasilnya adalah kembali ke kita juga. Yaitu sebuah kehidupan yang kita impikan, surplus kebaikan.
Di zaman sekarang ini surplusnya kebaikan hanya terjadi dalam waktu dan tempat yang tertentu saja. Misalnya hanya di bualan Ramadhan saja orang menahan marah, suka shodaqoh, jujur, dsb, dan setelah itu amalan tersebut langka. Di tempat tertentu misalnya hanya di seputar Ka’bah ketika bulan Hajji, di sana sering didapatkan orang memberikan uangnya kepada siapa saja yang ditemuinya, bahkan ada yang menyebarnya. Di Kuwait ketika Ramadhan telah tiba, saat menjelang ifthor, banyak warga yang membuka warung makan dan mempersilakan siapa saja untuk ifthor di sana, gratis!
Sungguh nikmat jika adat seperti itu berjalan di sepanjang waktu dan di setiap tempat. Namun yang terjadi setelah bulan itu berlalu, kehidupan berjalan sebagaimana yang sebelumnya.
Untuk itu hanya orang-orang mu’minlah satu-satunya manusia harapan untuk menciptakan peradaban seperti itu.
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al Hajj: 77).
BAGAIMANA ADAB BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT?
Dengan atau tanpa da’wah, interaksi dengan masyarakat adalah suatu kemestian sosial. Bagi seorang muslim untuk menyebarkan rahmat Islam bagi semesta alam tentu dilakukan dnegan berinteraksi dengan masyarakat. Terlebih jika dikaitkan dnegan da’wah. Karena karakter da’wah sendiri harus berbaur dengan masyarakat (mukholathoh), yaitu dengan mukholathoh yang ijabi (positif).
Dengan demikian thobiah da’wah itu adalah da’wah ammah. Da’wah khoshshoh bukan merupakan suatu badil (pengganti) bagi da’wah ammah tetapi lebih merupakan unsur penunjangnya. Karena da’wah ammah belum dapat dimunculkan sebagaimana mestinya. Berinteraksi dengan masyarakat dimulai dari yang terdekat dengan kita. Kita melihatnya dengan mizanud da’wah, sementara sikap atau asas berinteraksi dengan masyarakat adalah mu’amalah bimitsli. Sedangkan sikap ta’amul da’wah adalah ‘amilun naas bimaa tuhibbu ‘an tu’aamiluuka bihi. Bagaimana atau apa yang seharusnya kita berikan kepada masyarakat
A. BERINTERAKSI DENGAN PARA DA’I YANG LAIN
Adapun yang dimaksud dengan da’i di sini adalah para da’i yang belum indhimam satu shaf dengan kita.
1. Kita memiliki tujuan umum yang sama yaitu membela Islam dan memajukan ummat.
2. Namun kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub (cara kerja).
3. Menjalin kerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran dalam hal yang ikhtilaf.
4. Menyenangi ijma’ untuk mencapai wihdatul fikriyah dan tidak menyenangi nyleneh (syadz). Karena syadz berbeda dengan ghorib. Syadz tidak punya akar apapun juga (misalnya adanya pemikiran dari Ahmadiyah yang mengatakan bahwa semua orang baik kafir atau muslim masuk surga. Atau pemikiran Gus Dur yang mengomentari ayat; wa lan tardlo ‘ankal yahud….dst, sudah tak berlaku lagi). Sedangkan grorib adalah pemikiran yang baik, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat.
5. Toleransi dalam masalah khilaf dan furu’ dan membenci ta’shub.
6. Persoalan apaun tidak perlu merusak mawaddah di anatara kaum muslimin.
Pernah As Syahid difitnah bahwa Jinah Asykari akan menyerang Jama’ah Jihad. Tentu saja pimpinan Jama’ah Jihad marah dan meminta dialog dengan Asy Syahid untuk mengeluarkan segala uneg-unegnya. Asy Syahid hanya menjawab dengan “sammihuuni”, maafkan saya.
7. Khilaf hendaknya dikaji secara ilmiyah, tidak hanya terhenti sebagai apologetik (pembelaan) saja.
B. BERINTERAKSI DENGAN TOKOH MASYARAKAT
1. Di tempatkan pada posisinya.
Sikap Rasul kepada Abu Sufyan. Rumahnya dijadikan baitul qoshid. Kedudukannya tidak direbut tetapi di ta’ziz.
2. Dihormati di tengah-tengah para pengikutnya.
Sa’ad bin Muadz ketika diberikan kehormatan untuk mengambil putusan hukum atas bani Quraidzah, Rasul SAW bersabda: “Quumuu ilaa sayyidatikum”.
3. Sebitkan juga jasa-jasa mereka kepada Islam.
Ketika khalifah di Tsaqifah, pidato Abu bakar sangat bijak. Ia menyebut-nyebut nikmat Islam, jasa-jasa kaum Anshar dan kebaikan-kebaikan Muhajirin. Dengan begitu kaum Anshar ikut mendukung.
Dalam sebuah munasabah, Asy Syahid juga pernah diminta untuk mengisi acara semacam tabligh. Namun sayangnya panitia kurang memiliki fiqhul mujtama’ sehingga terjadi konflik dengan ulama di sekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh panitia mengenai konflik tersebut kepada Asy Syahid sebelum acara dimulai, akhirnya Asy Syahid mohon ijin untuk mendatangi para ulama di sekitar itu satu per satu untuk memohon maaf kepada mereka. Setelah itu baru ia memulai ceramah. Dua per tiga dari isi ceramahnya, menyebut-nyebut kebaikan dan jasa-jasa para ulama tersebut terhadap Islam. Akhirnya para ulama mendatangi tempat dimana Asy Syahid berceramah.
4. Berhubungan dengan mereka dan mendo’akan mereka.
Rasulullah menghububgi tokoh Thoif serta mendo’akan mereka.
Umar Tilmitsani ketika Sadat meninggal dunia, ia mengucapkan do’a; “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” yang membuat ikhwah tercengang.
5. Memperhatikan kepentingan bersama.
Mulailah pembicaraan dari titik-titik persamaan, jangan dari titik perbedaan.
Asy Syahid memulai dari point-point yang sama kemudian mendudukkan point-point yang berbeda.
ADABUT TA’AMUL FIL JAMA’AH
“Sesungguhnya jikalau engkau tak bersama mereka maka engkau tak akan bersama selain mereka. Sekiranya mereka tak bersama engkau, maka mereka akan bersama selain engkau”.
A. DENGAN DA’WAH
1. Lepaskan hubungan dengan lembaga/jama’ah manapun terutama (dan secara khusus) lagi jika engkau diminta untuk itu.
Hidup dalam sebuah jama’ah memang dituntut untuk tajarrud dan profesional di dalamnya. Kadangkala seorang a’dho’ (anggota jama’ah) diminta untuk masuk dalam organisasi tertentu dengan tujuan untuk belajar (on mission), menjalin hubungan, dsb. Namun adakalanya juga kita diminta untuk meninggalkannya. Mungkin karena lembaga tersebut dinilai membahayakan secara siyasi, aqidah, fikroh ataupun lainnya. Atas dasar itulah seorang a’dho’ harus memahami betul akan permintaan jama’ahnya dan diterimanya dengan legowo. Sebab sebuah jama’ah pasti mempunyai arah dan tujuan dalam menjalankan manhajnya. Semua tentunya telah disyurokan terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang terkait. Setiap a’dho jama’ah berperan dalam menjalankan tugasnya dengan sebuah ikatan amal jama’i.
2. Menghidupkan budaya Islami.
a. At tahiyat (salam).
Abdullah bin Amru bin Al-ash r.a. berkata: Seorang bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Apakah yang terbaik di dalam Islam? Nabi s.a.w. menjawab: Memberi makanan dan memberi salam terhadap orang yang kau kenal atau tidak kau kenal” (HR. Bukhari, Muslim)
Salam, selain do’a juga merupakan pintu pembuka komunikasi. Hendaknya salam ini kita budayakan, karena dampaknya cukup besar terhadap peradaban Islam yang akan datang. Ketika seorang muslim yang belum kita kenal diberi salam maka dia akan membalas salam dan biasanya dilanjutkan jabat tangan, akan terjadi komunikasi, kontak hubungan, selanjutnya terserah anda, apakah akan berkenalan atau silaturahim, dari sinilah muncul benih-benih ukhuwah, dst. Karena itulah Abdullah bin Umar RA sengaja menyempatkan diri untuk pergi ke pasar, dan ia mengucapkan salam kepada setiap muslim yang dijumpainya, sampai suatu saat dia ditanya oleh seseorang; “Apa yang anda perbuat di pasar? Anda bukan seorang pedagang, tidak pula membeli dagangan, Anda juga tidak duduk dalam kepengurusan pasar, mengapa anda selalu ada di pasar? Jawab Ibnu Umar, ‘Aku sengaja setiap pagi pergi ke pasar hanya untuk mengucapkan salam kepada setiap muslim yang aku temui” (HR. Bukhari).
b. Bahasa Arab.
Bahasa Arab adalah bahasa kesatuan kaum muslimin sedunia, bahasa yang digunakan untuk komunikasi Allah SWT. dengan hamba-Nya (Rasulullah SAW) berupa Al Quran. Bahasa yang telah dipilih oleh Allah SWT. ini adalah bahasa yang paling sempurna di antara bahasa-bahasa yang ada di bumi ini. Suatu bahasa yang tetap akan terjaga asholah-nya (keaslian) sampai hari qiyamat, tak akan terkontaminasi oleh lajunya peradaban dunia. Tidak seperti bahasa lain yang mudah tercemar seiring dengan globalisasi dan majunya peradaban. Misalnya saja bahasa Indonesia atau bahasa Inggris seratus tahun yang lalu tak mudah dipahami oleh manusia/ bangsanya pada saat ini.
Seseorang tak akan mampu memahami Islam dengan benar tanpa melalui kidah bahasa Arab. Menafsirkan Al qur’an wajib menggunakan kaidah bahasa Arab, bukan dengan kaidah/tata bahasa bahasa selainnya. Seorang muslim tak akan mungkin (mustahil berpisah dari bahasa Arab). Untuk itu kita mesti medalami dan mensyi’arkannya dalam kehidupan sehari hari. Asy Syahid Hasan Al Bana telah mewasiatkan: “ takallamul lughatal ‘arabiyatal fushkha fainnaha min sya’airil islam” (Berbicaralah dengan menggunakan bahasa Arab karena hal ini merupakan bagian dari syi’ar Islam). Shahabat Umar bin Khattab RA. pernah mengatakan: ”ta’allamul lughatal ‘arabiyah fainnaha min diinikum” (Pelajarilah bahasa Arab karena dia adalah bagian dari dien kalian). Juga hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dengan sanad dari Malik:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb itu satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya , Arab itu adalah lisan (bahasa), maka barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab”.
Demikianlah kaum muslimin sedunia telah disatukan dan dipersaudarakan dengan satu bahasa, bahasa Arab. Kita akan jaya dengan bahasa Arab.
c. Penanggalan.
Urgensi penanggalan hijriyah:
Hijrah adalah moment terpenting dalam sejarah dakwah islamiyah. Hijrah adalah masa peralihan dalam sejarah kaum muslimin. Sebelum hijrah mereka adalah ummatud da’wah. Mereka menyampaikan da’wah Allah swt. kepada manusia tanpa didukung basis politis yang bisa melindungi para da’I-nya atau menangkal serangan musuh kepada mereka.
Setelah hijrah berdirilah daulatud da’wah. Satu kedaulatan yang di pundaknya terletak tanggung jawab menginternasionalisasikan Islam ke seluruh jazirah arab dan sekitarnya.
Maka tak heran jika masa keemasan khalifah Umar bin Khaththab RA telah sepakat menjadikan tahun hijrah nabawiyah sebagai permulaan penanggalan Islami. Pada waktu itu Khalifah Umar mengumpulkan sejumlah sahabat dan meminta pendapat mereka mengenai penanggalan Islami. Tujuannya adalah bahwa dengan penanggalan tsb mereka bisa mengetahui kapan saatnya melunasi hutang, dan lain-lain yang berkaitan dengan penanggalan.
Seorang sahabat memberi usulan untuk membuat penanggalan seperti Parsi, yang lain mengusulkan seperti Romawi, namun Umar RA menolaknya. Ada juga yang mengusulkan penanggalan berdasarkan kelahiran Rasulullah SAW, berdasarkan tahun diutusnya Rasulullah SAW, hijrahnya atau wafatnya beliau.
Namun pada akhirnya khalifah Umar RA cenderung membuat penanggalan berdasarkan hijrahnya Rasulullah SAW, dengan pertimbangan bahwa hijrah adalah babak baru munculnya Islam dan hal yang tidaka asing lagi bagi kaum muslimin.
Umar RA tidak mau membuat penanggalan dengan bi’tsah Nabi SAW meskipun hal tersebut penting. Hal ini disebabkan bi’tsah dan masa setelah itu Islam dan kaum muslimin dalam kondisi lemah, mereka mustadl’afin, tak punya kekuatan apa-apa. Sementara pucuk pimpinan saat itu adalah Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah dkk. Maka dari hal tsb tidaklah logis kalau dibuat penanggalannya karena tiadak mempunyai sejengkalpun daerah kekuasaan. Sedangkan Hijrah Nabawiyah merupakan “unjuk gigi” baik dalam konsep maupun qiyadah. Semua para sahabat tak terkecuali punya andil dalam membuat peristiwa-peristiwa hijrah dan sesudahnya. Setelah itu mereka menguatkannya dengan daulah Islamiyah.
Penanggalan hijrah menunjukkan betapa kuat dan hebatnya jihad dan perjuangan ummat Islam. Sejarah tak mungkin diukir satu orang saja, meski ia mempunyai kemampuan lebih, bahkan ia seorang nabi atau rasul. Sesungguhnya yang membuat sejarah adalah ummat secara keseluruhan, yaitu ummat yang berdiri di pihak rasul-Nya atau qo’id-nya. Sudah berapa banyak rasul yang dikecewakan dan dihinakan oleh kaumnya sendiri dan mereka tak bisa berbuat apa-apa. Maka sesungguhnya ummat sekarang ini terpanggil untuk membuat sejarahnya dengan jiwa mereka sendiri.
Dengan demikian kaum muslimin menjadi excelent (mutamayyiz) tidak mengekor ataupun menyerupai, Yahudi, Nashrani ataupun Majusi, dll. Kita menginginkan kepribadian yang bersih tak terkontaminasi dengan fikroh kafir yang membahayakan. Sudah menjadi aksioma bahwa di antara pilar-pilar suatu ummat adalah sejarahnya yang mereka banggakan yang akan menjadi ukiran peristiwa sejarah dengan penuh perjuangan dan titik darah penghabisan.
d. Busana.
Untuk wanita hendaknya senantiasa menutupkan aurat-nya ketika keluar rumah, dalam hal ini perintah Allah SWT sudah jelas. Hindari pakaian yang menimbulkan fitnah, ataupun perdebatan. Akan tetapi walaupun sudah menutup aurat jika terlalu mewah ataupun terlalu kumuh akan membuat peluang orang untuk menggunjingnya (dosa). Perhatikan juga warna dan corak yang tidak mencolok hingga menarik perhatian banyak orang. Sementara untuk laki-laki jangan memakai pakaian yang tasabuh (meniru) orang kafir. Seperti berpakaian dengan pakaian yang biasa (khusus) dipakai oleh para rahib atau pendeta, biksu, dsb. Hindari pakaian dengan gambar, assesoris, simbul agama tertentu, ataupun juga gambar dan tulisan jorok. Hal ini selain tidak berakhlaq juga akan mengusik kebersihan hati orang lain. Untuk pakaian yang bertuliskan kata-kata tertentu, perhatikan jangan sampai mengganggu konsentrasi orang lain, misalnya ketika shalat berjamaah di masjid. Bayangkan saja jika antum memakai kaos yang di belakangnya ada tulisan “mburiku munyuk”, padahal antum menjadi imam shalat!
Untuk pakaian di masjid hendaknya memakai yang terbaik yang kita miliki, terutama shalat Jum’at. Dalam berbusana yang terpenting adalah memenuhi syarat, yaitu menutup aurat, (tidak menampakkan ataupun menonjolkannya) dan tidak tasabuh, setelah itu bisa menyesuaikan adat setempat. Jadi tidak harus berjubah dan bersorban ala Arab. Namun jika hal itu untuk menandakan rasa cinta terhadap Rasul SAW dalam hal berpakaian maka tentunya tidak mengapa. Akan tetapi hendaknya melihat kondisi masyarakat setempat. Jika mereka anti pati dan semakin menjauhi kita gara-gara pakaian , maka itu belum prioritas untuk diterapkan.
3. Mengenal ikhwah du’at dengan ma’rifah yang sempurna dan sebaliknya.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” (Al Hujurat:10).
Ukhuwwah, setelah generasi pertama ummat Islam berlalu, telah hanya menjadi kata-kata penghias bibir kaum muslimin dan khayalan belaka di benak mereka, sampai kita datang dengan ukhuwah islamiyahnya. Kita telah berusaha menerapkannya di kalangan kita dan menginginkan kembalinya ikatan ummat yang saling bersaudara dengan jiwa ukhuwah islamiyah. Memang untuk meng- ukhuwah islamiyah-kan masyarakat, kita harus mewujudkan dahulu dalam kalangan kita sendiri.
Ikhwah berarti saudara sedarah, sekandung. Setiap mu’min kita jadikan sebagai saudara sekandung, lebih dari sekedar teman kerabat. Rukun ukhuwah adalah ta’aruf, tafahum dan takaful. Ta’aruf yang sempurna adalah dengan mengenali seluruh jati dirinya; fisik, pola berpikir (baca: fikroh), dan jiwanya. hendaknya kita tidak lalai dalam hal ini, sebab akan dapat membawa resiko.
Pernah dalam suatu acara mukhoyyam ikhwah, ketika sedang mengadakan perjalanan yang panjang di malam hari melewati bukit-bukit berbatu, jurang yang dalam, menyeberangi sungai nan deras, seorang ikhwah “hilang” dari barisan Setelah cukup lama, peserta baru sadar ada satu anggota yang “hilang”. Pemandu segera menyusur balik dan akhirnya ditemukan. Usut punya usut ternyata ikhwah yang tertinggal tersebut mempunyai penyakit rabun senja. Untunglah dengan izin Allah SWT al-akh tsb selamat, tak masuk jurang.
Demikianlah satu akibat jika kita tak pernah mengenali ikhwah kita sendiri (fisiknya). Dan mungkin al akh yang menderita sakit tersebut sebelumnya juga tak pernah mengenalkan dirinya kepada ikhwah lainnya. Untuk itu bersegeralah mengenali ikhwah sedini dan sesempurna mungkin, sebaliknya kita juga mengenalkan diri kita kepada ikhwah. Selanjutnya tafahum dan takaful akan terwujud serta membentuk bangunan yang kuat seiring dengan kadar soliditas ukhuwah kita.
4. Menunaikan kewajiban maaliyah.
Jihad, selain memerlukan personil (rijal) juga membutuhkan finansial (maal). Dahulu seorang Mujahid Muslim menyiapkan sendiri perlengkapan, kendaraan dan perbekalan perangnya. Tak ada gaji bulanan yang diterima oleh para pimpinan dan prajurir. Yang ada hanya suka rela menyumbangkan harta dan jiwa. Itulah yang diperbuat oleh aqidah bila telah menjadi landasan tegaknya sistem dan undang-undang.
Dahulu kaum muslimin yang miskin ingin berjihad membela manhaj Allah SWT dan panji aqidah, tak memiliki apa yang bisa dijadikan bekal untuk dirinya dan tak memiliki perlengkapan serta kendaraan. Kemudian mereka menghadap Nabi SAW meminta agar diikutsertakan ke medan pertempuran yang jauh, yang tak bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bila Nabi SAW tak mendapatkan apa yang bisa dipakai untuk membawa mereka maka; “mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan” (At Taubah:92)
Banyak ayat Al Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk infaq di jalan Allah SWT. Ajakan berjihad sering diiringi dengan ajakan untuk berinfaq. Ada juga dalam ayat Al Qur’an yang mengidentikkan orang yang tak berinfaq dengan kebinasaan.
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah , dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al Baqarah:195).
Tak mau berinfaq di jalan Allah SWT adalah tindakan membinasakan jiwa dengan sifat kikir, disamping membinasakan jama’ah dengan ketidakberdayaan dan kelemahan, khususnya dalam suatu sistem yang didasarkan pada suka rela, sebagaimana dalam sistem Islam.
Suatu saat seorang sahabat bernama Abu Dahdah dirinya merasa tersindir ketika Rasul SAW dalam khutbahnya terkesan sedang membutuhkan dukungan dana. Lantas Abu Dahdah mengatakan; “Yaa Rasulallah, saya mempunyai kebun (yang luasnya 600 pohon kurma), itu semua akan saya infaqkan fi sabilillah”. Kemudian Abu Dahdah pulang dan konfirmasi kepada istrinya bahwa kebunnya sudah menjadi milik kaum muslimin. Istrinya berkomentar; “robahal bai’..” (perniagaan yang menguntungkan). Karena kebun yang sepetak itu akan diganti dengan kebun surga. Subhanallah..
Marilah kita galakkan syi’ar ini (zakat, infaq, shodaqoh, dsb) untuk menggapai ridha Allah SWT.
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai ridha Allah, maka (yang berbuat demikan) itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya” (Ar rum:39).
Di samping itu kita juga diperintahkan untuk membangun syarikat-syarikat islami untuk membangun ekonomi ummat Islam. Ummat Islam yang tengah bangkit membutuhkan penanganan atas urusan ekominya, karena ia merupakan persoalan paling penting saat ini. Islam sama sekali tak mengesampingkan masalah ini, bahkan ia telah meletakkan kaidah dasar dan konsep-konsepnya secara jelas dan tuntas. Lihatlah bagaimana Allah SWT. mengingatkan kita untuk menjaga harta, menjelaskan nilainya dan kewajiban untuk memperhatikannya.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna aqalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai kehidupan…”.(An Nisa’:5)
Allah SWT berfirman mengenai keseimbangan antara infaq dan penghasilan.
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, yang karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (Al Isra:29)
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak miskin orang yang hemat”
Sebagaimana harta itu membawa manfaat kepada pribadi, maka harta itupun akan membawa manfaat kepada ummat. Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baik harta adalah harta yang ada orang-orang shalih”.
Sistem ekonomi yang baik -apapun namanya dan dari manapun sumbernya- akan diterima oleh Islam. Dan ummat pun akan didorong untuk mendukung dan menumbuhsuburkannya. Asy Syahid Hasan Al Bana telah berwasiat untuk memperhatikan aspek ini, dengan menggalakkan kegiatan perekonomian, membuka lapangan kerja, menangkal penindasan praktek monopoli. Selain itu juga pengelolaan zakat yang profesional.
5. Menyebarkan da’wah dan membentuk keluarga atas hal itu.
Hal ini sudah ditegaskan oleh Asy Syahid dalam risalah ta’lim-nya bab amal. Pembentukan keluarga muslim, yaitu dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai fikrahnya, menjaga etika islam dalam setiap aktivitas kehidupan rumah tangganya, memilih istri yang baik dan menjelaskan kepadanya hak dan kewajibannya, mendidik anak-anak dan pembantunya dengan didikan yang baik, serta membimbing mereka dengan prinsip-prinsip islam.
Bimbingan terhadap masyarakat, yaitu dengan menyebarkan da’wah, memerangi perilaku yang kotor dan munkar, mendukung perilaku mulia, utama, melakukan amar ma’ruf, bersegera mengerjakan kebaikan, menggiring opini umum untuk memahami fikrah islamiyah dan mencelup praktek kehidupan dengannya terus menerus. Itu semua adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap sebagai pribadi, juga kewajiban bagi jama’ah sebagai institusi yang dinamis.
Demikianlah bahwasanya keluarga adalah miniatur masyarakat Islam. Robohnya nilai Islam dalam keluarga maka roboh pula nilai Islam di masyarakat. Jika kita menginginkan daulah islamiyah (yang berarti menegakkan nilai-nilai Islam dalam sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara), maka tegakkan dulu di hatimu maka akan tegak di bumimu. Ingat jargon yang salimah ini: “takun daulatal islamiyah fi qolbika takun fi ardlika”.
6. Mengenal harakah islamiyah.
Hal ini perlu dilakukan agar kita mengerti medan da’wah yang dihadapi, sehingga bisa diatur taktik dan strateginya. Adapun yang perlu kita ketahui berkaitan dalam hal ini antara lain: nama gerakan, manhaj-nya, nama pendirinya, nama pemimpinnya sekarang, sejarah berdirinya, markasnya, jaringannya, tokoh-tokohnya, buku-buku rujukannya, produk-produknya, bentuk-betuk aktivitasnya, karakteristik gerakannya, kebaikan dan kekurangannya.
Untuk mengetahui masalah ini kita perlu aktif mengadakan diskusi, tatsqif dan membaca buku terkait. Dan yang penting kita harus senantiasa “buka mata buka telinga” untuk terus mencari informasi dan mengikuti perkembangannya.
B. MA’AL MAS’UL (KETUA/PIMPINAN)
- Dalam da’wah Ikhwanul Muslimin seorang pemimpin mempunyai hak orang tua dalam hubungan ikatan hati, dan ustadz dalam hubungan memberikan ilmu.
- Seperti halnya seorang syaikh dalam hubungan tarbiyah ruhiyah.
- Menjadi pemimpin dalam hubungan dengan kebijakan politik bagi da’wah secara umum dan da’wah kita menghimpun seluruh nilai-nilai ini.
1. Taat, yaitu melaksanakan perintah dan merealisasikannya dalam kondisi semangat atau malas dan dalam kondisi sulit ataupun mudah.
“Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam keadaan senang maupun benci, kecuali perintah untuk maksiat, karena tak ada ketaatan terhadap makhluq dalam bermaksiyat kepada Allah” (HR. Muslim).
Jama’ah, dalam merealisasikan tujuannya pastilah membutuhkan jundi yang taat dan memahami akan tuntutannya. Ingatlah juga syurut tajnid Asy Syahid Hasan Al Bana; faham, ikhlash, amal, jihad, pengorbanan, taat, tajarrud, tsabat, ukhuwwah, tsiqoh. Tuntutan demikan amatlah logis dan tidak mengada-ada. Organisasi jahat kaliber internasional pun menuntut hal yang identik demikian, bahkan kadang tidak logis. Para agen Mossad Yahudi bahkan tak segan-segan untuk membunuh anggotanya jika terbukti berkhianat. Jama’ah da’wah tidaklah demikian, orang boleh masuk dan tak akan menahan yang mau keluar darinya. Masing-masing akan memetik buahnya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Jama’ah kita mempunyai tujuan yang amat mulia, perjuangannya melibatkan antar generasi dalam rentang waktu yang tak terbatas, menegakkan kalimattullah hiyal ‘ulya sampai dunia ini musnah. Hanya tentara Allah SWT sajalah yang mampu menegakkannya, bukan orang yang leda-lede.
2. Tsiqoh, tentramnya jiwa dengan seluruh yang keluar darinya.
Ibarat seorang tentara yang merasa puas dengan komandannya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan kepuasan yang mendalam yang menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan serta ketaatan.
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka esuatu keberatan terhadap sesuatu keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa’ (4):65).
Pemimpin adalah unsur penting dalam dalam da’wah; tak ada da’wah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh yang timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin menjadi neraca yang menentukan sejauhmana kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khthithah-nya, keberhasilannya mewujudkan tujuan, dan ketegarannya menghadapi tantangan. Tsiqoh kepada pemimpin adalah segalanya dalam keberhasilan da’wah. Untuk mengetahui kadar ke-tsiqoh-an dirinya terhadap mas’ul-nya bertanyalah kepada diri sendiri dengan tulus mengenai beberapa hal sbb:
- Sejauhmana mengenal mas’ul tentang riwayat hidupnya
- Kepercayaan terhadap kapasitas dan keikhlasannya.
- Kesiapan menerima perbedaan pendapat dengan mas’ul, dan mas’ul telah memberi perintah dan atau larangan yang berbeda dengan pendapat kita.
- Kesiapan meletakkan seluruh aktivitasnya dalam da’wah, dalam kendali mas’ul.
3. Minta izin, jama’ah mengetahui segala kondisimu dan selalu ada hubungan ruh dan aktivitas dengan jama’ah.
Sebenarnya bergerak dalam suatu jama’ah adalah tugas, tanggung jawab, amanat yang harus dipikul oleh pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus terkoordinasi rapi ibarat sebuah bangunan yang kokoh bershaf-shaf. Tidak boleh saling menelantarkan, berperilaku bahaya dan saling membahayakan. Tidak menyempal dari jama’ah atau hilang dari “peredaran” jama’ah dalam kurun waktu tertentu. .Harus ada jalinan komunikasi yang efektif serta terus menerus ber-musyarokah. Asy Syaikh Musthafa Masyur pernah memberi taujihat yang luar biasa: “Mutu jama’ah tergantung dari mutu harokah (gerakan), mutu harokah tergantung dari mutu musyarokah (berserikat), mutu musyarokah tergantung dari mutu muhawaroh (komunikatif, saling keterbukaan), dan mutu muhawaroh tergantung dari bagaimana mutu ukhuwahnya”.
4. Memuliakan mas’ul.
Memuliakan, menghormati mas’ul tidak semata-mata didasarkan kepada diri mas’ul, tetapi karena dirinya dipandang sebagai lambang jama’ah yang mengibarkan bendera Islam untuk menyerukan hidayah ke ummat manusia. Setiap gerakan yang merugikan kedudukan pemimpin akan merusak citra dan keutuhan jama’ah
5. Merahasiakan nasihat.
Di antara sifat mu’min adalah suka nasihat menasehati dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran. Ketinggian kedudukan mas’ul tidak boleh menjadi penghalang untuk itu, dalam rangka untuk memperbaiki amal dan menghindarkan hal-hal negatif. Tidak boleh merasa berat dalam memberi nasihat, begitu juga mas’ul harus lapang dada, dan bersyukur dalam menerimanya.
“Ad dien itu adalah nasihat. Kami bertanya, ‘untuk siapa?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan orang orang awamnya” (HR. Muslim).
Adapun adab yang harus kita jaga dalam memberi nasihat kepada mas’ul adalah dengan memilih ketepatan suasana dan cara. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berilah nasihat dalam bentuk yang paling baik, dan nasihat tersebut hendaknya diterima menurut bentuknya. Kedua, dengan menasihatinya secara diam-diam berarti telah menghormati dan memperbaikinya. Sebab jika kita menasihatinya dengan cara terang-terangan di hadapan orang banyak, seolah kita telah mempermalukan dan merendahkannya. Ketiga, tatkala memberi nasihat maka hati/niat kita tidak boleh berubah walau sehelai rambutpun. Tidak merasa lebih mulia, tidak menggurui sehingga menjadikan obyek seolah-olah seorang pesakitan yang penuh dengan kekurangan. Rasa cinta dan hormat kepadanya tak bergeser sedikitpun.
C. DENGAN IKHWAH (SAUDARA SEPERJUANGAN)
1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka.
2. Menampakkan cinta pada mereka dan menahan marah karena kelalaian mereka.
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Ali Imron:134)
Manusia adalah tempatnya salah dan lalai. Baik diri kita maupun saudara kita tak luput dari sifat itu. Adalah tidak adil jika kita memarahi saudara, apalagi memutuskan hubungan dengannya ketika lalai. Justru yang paling baik adalah dengan menesihatinya. Setinggi-tinggi martabat pergaulan adalah dengan tetap menjalin kasih sayang baik ketika lalai maupun ingat. Seperti itulah salah satu ciri kehidupan masyarakat muslim.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (Al Fath:29)
Bahkan kadang kala kecintaan itu kita ikrarkan. Abu Kuraimah bin Ma’diy Karib Ra berkata; Bersabda Rasulullah SAW: “Jika seorang mencintai saudaranya, maka beritahukanlah kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah” (Abu Dawud).
Sedangkan anjuran untuk menahan marah cukuplah nasihat Rasulullah SAW ketika seseorang datang kepada beliau dan berkata: “Nasihatilah saya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “Jangan marah”, kemudian orang itu meminta mengulangi nasihat lagi, jawab Nabi :“Jangan marah” (HR Bukhari).
Marah itu menghimpun berbagai kejahatan dan setiap kejahatan membawa dosa, sedangkan menahannya adalah menangkal dosa yang berarti memetik pahala surga.
Muadz bin Anas berkata: Bersabda Rasulullah SAW: ”Siapa yang menahan marah padahal ia mampu memuaskannya, maka kelak di hari qiyamat Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluq, kemudian disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi).
3. Mendo’akan mereka ketika ghaib
“Mintalah ampun untuk dosamu sendiri dan untuk kaum muslimin lelaki dan perempuan” (Muhammad: 19)
Wujud ukhuwah Islamiyah yang telah dibina Rasulullah SAW ketika periode hijrah sangat nyata, bukan seruan bibir semata. Mereka saling mengutamakan kebutuhan saudaranya yang baru dibina itu Mereka saling memberikan harta bahkan jiwanya untuk sebuah persudaraan karena Allah SWT. Mereka juga memberikan do’anya.
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman” (Al Hasyr: 10)
Abu Darda’ RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang dido’akan itu do’a yang mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu ada Malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu supaya disambut: amin wa laka bi mitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu)” (HR. Muslim).
4. Bantulah saudaramu baik dalam kondisi mendzolimi atau terdzolimi, yaitu mencegah kejahatannya.
D. DENGAN MUAYYID (PENDUKUNG)
1. Tawazun dalam menilai/memuji, mereka bukanlah segalanya sampai tak menghiraukan yang lain, dan tidak pula meremehkan mereka sehingga kita jadikan mereka sebagai kasta rendah tak bernilai.
2. Mendahulukan yang terpenting dari yang penting, dan permulaan yang terbaik adalah menempatkan aqidah dalam hati
3. Sedikit dalam nasihat.
4. Menghindari cara menggurui, meskipun dengan argumen yang jitu.
5. Hindari jawaban langsung atau kritik pedas
6. Hati-hati dari penyia-nyiaan potensi dengan penyembuhan/membuang urusan-urusan yang sepele atau debat yang tak bermanfaat.
7. Menganggap mereka (mad’u) cerdas dan berilmu, maka jangan terlalu memperpanjang dalam menjelaskan yang aksiomatik (badihiyat).
8. Setiap ucapan ada tempatnya, setiap tempat ada perkataannya, “khotibun naas ‘ala qodri ‘uqulihim “ (maka sampaikanlah pada manusia menurut kadar akalnya).
9. Mempelajari kondisinya dan mengetahui akan halnya:
Jangan mencacinya apabila terlambat dari kegiatan
Jangan memaksanya ke dalam pekerjaan tertentu
Jangan membebani melebihi kemampuan
10. “Membina tidak cukup sehari semalam”.
11. Jadilah qudwah baginya dalam segala sesuatu (“amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” Ash Shoff: 3)
12. Terus menerus dalam menda’wahi sampai tampak hasilnya.
E. DENGAN IKHWAN (SAUDARA-SAUDARA SEPERJUANGAN)
1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka
2. Menampakkan cinta dan menahan marah serta dendam
“Janganlah kamu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun sekedar menunjukkan wajah yang berseri ketika bertemu dengan saudaramu” (HR.Muslim)
3. Mendo’akan mereka ketika ghaib. (“Do’a seorang muslim kepada saudaranya terkabulkan dalam kesendiriannya, pada kepala orang itu ada malaikat yang ditugaskan setiap dia berdoa kebaikan untuk saudaranya, malaikat berkata: amin dan akan mendapatkan seperti itu pula”) HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Darda’.
4. Mengakui pertolongan mereka baik dalam senang atau duka sebagai ungkapan bahwa kekuatannya (baca:kita) tidak mungkin bergerak sendiri dalam kehidupan.
5. Tidak suka mencelakakan mereka dan bersegera untuk menghilangkannya/ menolak.
6. Saling menolong, “tolonglah saudaramu baik saat mendzolimi atau saat terdzolimi, yaitu dengan mencegahnya”.
7. Mempermudah urusan-urusan yang sulit.
Salah satu dari ciri seorang muslim adalah suka mempermudah segala urusan yang dialami saudaranya.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan” (Al Baqarah:185)
“Ajarilah olehmu dan mudahkanlah olehmu dan jangan kamu mempersulit, dan jika salah seorang di antara kamu ada yang marah, maka hendaklah kamu diam” (HR. (Bukhari).
Dari Ummul Mu’minin RA:
“Jika menghadapi dua perkara, Rasulullah akan memilih yang termudah, jika kiranya tidak mengandung dosa. Maka jika urusan itu mengandung dosa, seluruh manusia harus menjauhinya. Dan apa yang menjadi pendirian Rasulullah SAW dalam menghadapi sesuatu, ialah tidak membalas dendam kepada siapapun jika yang disakiti itu hanya dirinya sendiri, kecuali jika larangan Allah telah dilanggar, maka beliau akan marah, dan membalasnya semata-mata hanya karena Allah” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Abu Qatadah RA berkata:
“Aku mendengar Rasulullah SAW berkata, ”Barangsiapa yang memudahkan kesulitan muslim lainnya, untuk mendapatkan keselamatan dari Allah dari kesulitan-kesulitan hari kiamat, maka mudahkanlah kesulitan (orang lain) atau melepaskan bebannya” (HR. Muslim).
8. Memberikan nasihat.
Tak tersisa dalam hidup ini kecuali tiga kelompok: Seorang dimana kamu mendapatkan bergaul/ma’asyaroh dengannya, kalau kamu menyimpang dari jalur dia meluruskanmu, dan dia memberikan cukup kehidupanmu, tidak ada seorang yang bisa membebanimu, dan sholat di masjid jami’ kamu terhindar dari lupa padanya dan mendapatkan penghalang. (Perkataan Hasan Al Bashri).
Dan berkata Al Muhasibiy, “Ketahuilah orang yang menasihatimu sungguh dia mencintaimu, dan barangsiapa yang menjilat kamu maka dia menipumu/mengujimu, dan siapa yang tak menerima nasihatmu bukanlah saudaramu”.
F. DENGAN MUROBBI (PENDIDIK)
1. Penghargaan dan memuliakan mereka karena Allah SWT telah menjadikan mereka sebab masuknya kalian ke dalam bintang yang besar (jama’ah) meskipun kalian mendahuluinya.
Adab dalam bergaul dengan murobbi adalah dengan memuliakannya karena Allah SWT, memohonkan do’a bagi mereka. Karena mereka adalah orang-orang sholeh yang telah meghantarkan kita ke jalan Allah SWT. Tidak diperkenankan bagi kita untuk mencelanya, membesar-besarkan keburukannya dan berpaling bahkan membutakan diri dari kebaikan-kebaikan yang telah kita terima. Kita hendaknya bersabar dalam berjuang bersama-sama mereka, tidak terprovokasi oleh orang-orang hendak yang menjerumuskan, melemahkan atau membelokkan arah jalan da’wah kita, misalnya ada yang sering mengatakan kita dengan eksklusif, taqlid buta, jumud, tarbiyah tak akan mendapatkan apa-apa dan bukan segalanya untuk apa diteruskan, dan suara-suara miring lainnya. Ingatlah firman Allah SWT.
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap ridha-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan mereka adalah kaum yang melampaui batas” (Al Kahfi:28).
Dahulu kita dalam keterpurukan jahiliyah, dan sekarang tampak kemilau cahaya keislaman, kemudian memasukkan kita ke dalam sebuah gerakan besar, mewujudkan segala potensi yang selama ini terpendam, serta mengikatnya dengan jalinan ruhul islami.
“Manusia itu ibarat barang tambang seperti logam emas dan perak, terpandangnya mereka ketika masa jahiliyah akan terpandang juga ketika masa islamnya, jika mereka telah memahami. Adapun ruh-ruh itu ibarat laskar tentara yang siap tempur, maka yang saling mengenal akan intim, sedangkan yang tidak mengenal akan berceceran” (HR. Bukhori dan Asy Syaikhoni)
Siapakah yang mengasah dan membentuknya ke arah itu? Adalah para murobi tercinta!
2. Sesungguhnya mereka bukan ustadz-mu dahulu saja, maka jangan kalian putus mereka, dan hormatilah mereka serta keluarga mereka untuk di ziyarahi.
3. Terus menerus menyebut kebaikan mereka dan melupakan keburukan mereka.
 Allah SWT telah melebihkan manusia atas segala makhluk yang lain. Dimana manusia diciptakan dari himpunan dua unsur yaitu tanah dan ruh Allah, diciptakan sebaik-baik kejadian dan dibekali dengan akal dan sarana-sarana penyempurna yang lain agar benar-benar siap menjadi makhluk yang paling mulia. Sebagaimana juga telah ditaklukkan dan ditundukkan makhluk-makhluk yang lain untuk memenuhi kebutuhan dan keperluannya. Semua ini dimaksudkan agar kemungkinan manusia mengemban amanah sebagai khalifah dan hamba yang beribadah dan memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Tuhannya. Firman Allah SWT: “Dan telah Kami muliakan anak cucu Adam dan Kami membawa mereka didaratan dan dilautan dan Kami beri mereka rizki dari hal-hal yang baik dan Kami telah lebihkan mereka atas kebanyakan dari makhluk yang kami ciptakan”. (QS. Al-Isra:70).

Untuk menjaga kemuliaan dan kedudukan universal manusia sebagai satu kesatuan, maka Islam meletakkan kaidah-kaidah yang akan menjaga hakekat kemanusiaan tersebut dalam hubungan antar individu atau antar kelompok.

Saling menghormati dan memuliakan
Sebagaimana Allah telah memuliakan manusia, menjadi keharusan setiap manusia untuk saling menghormati dan memuliakan, tanpa memandang jenis suku, warna kulit, bahasa dan keturunannya. Bahkan Islam mengajarkan untuk menghormati manusia walaupun telah menjadi mayat. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri khusyu’ menghormati jenazah seorang yahudi. Kemudian seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia jenazah yahudi”. Nabi SAW bersabda: “Bukankah dia juga adalah seorang berjiwa ?”. (HR. Imam Muslim).

Menyebarkan kasih sayang
Ini merupakan eksplorasi dari risalah Islam sebagai ajaran yang utuh, karena dia datang sebagai rahmat untuk seluruh alam. Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak akan terlepas kasih sayang kecuali dari orang-orang yang hina”.

Keadilan
Seluruh ajaran dan syari’at samawi terbangun diatas tiang keadilan dan keseimbangan. Maka keadilan manjadi komponen utama dari sya’riat utama para Nabi dan Rasul. Dan dalam sya’riat terakhir; Islam, gambaran tentang keadilan lebih rinci dan kuat. Menegakkan keadilan merupakan keharusan diwaktu aman bahkan dalam keadaan perang sekalipun. Dan Islam menjadikan berlaku adil kapada musuh sebagai hal yang mendekatkan kepada ketaqwaan (QS. Al-Maidah:8). Untuk merealisasikan hal ini, Islam tidak hanya menyuruh berbuat adil, tapi juga mengharamkan kezaliman dan melarangnya sangat keras.

Persamaan
Asas ini adalah cabang dari tiang sebelumnya yaitu keadilan. Persamaan sangat ditekankan khususnya dihadapan hukum. Faktor yang membedakan antara satu orang dengan yang lain adalah taqwa dan amal shaleh, (iman dan ilmu). (QS. Al-Hujurat:13).

Perlakuan yang sama
Kaidah umum baik menyangkut individu maupun kelompok menghendaki adanya perlakuan yang sama atau lebih baik. Membalas suatu kebaikan dengan kebaikan yang sama atau lebih baik adalah tuntutan setiap masyarakat yang menginginkan hubungan harmonis antar anggota-anggotanya. Maka Allah SWT menentukan hal tersebut dalam salah satu firman-Nya (QS. Al-Isra:7).



Berpegang teguh pada keutamaan
Asas ini sering dinyatakan dengan taqwa, ihsan dan kebaktian dibanyak tempat dalam Al-Qur’an. (misalnya dalam Surah Al-Baqarah:177 dan 194, Al-Mukminun:96, Fushshilat:34). Dan diantara fenomena berpegang kepada keutamaan; berlemah lembut, memaafkan, berlapang dada, bersabar, ringan tangan, menolong dan lain-lain. Dan yang paling jelas dan tampak sekali kebaikannya adalah membalas suatu kejahatan dengan yang lebih baik (QS. Fushshilat:34).

Kebebasan (merdeka)
Dalam asas inilah betapa jelas sekali Allah memuliakan manusia dan menghormati kemauannya, fikirannya dan perasaannya dan membiarkannya menentukan nasibnya sendiri apa yang berkaitan dengan petunjuk dan kesesatan dalam keyakinan, dan membebankan kepadanya akibat perbuatannya dan muhasabah dirinya.

Hanya kebebasan bukanlah maknanya melepaskan diri dari segala ketentuan dan ikatan karena menuruti hawa nafsu, sehingga seseorang bisa bisa melanggar hak-hak orang lain. Kalau demikian halnya yang terjadi adalah kekacauan dan kerusakan. Maka Syaikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan: “Sesungguhnya kebebasan yang hakiki dimulai dengan membebaskan jiwa dan nafsu mengikuti syahwat dan menjadikannya tunduk kepada akal dan hati”. Apalagi sampai menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan (QS. Al-Jatsiyah:23).

Berlapang dada dan toleransi (tasamuh)
Telah banyak pembicaraan tentang toleransi yang menjadikannya sedikit menyimpang dari makna yang sebenarnya. Sebetulnya makna tasamuh adalah sabar menghadapi keyakinan-keyakinan orang lain, pendapat-pendapat mereka dan amal-amal mereka walaupun bertentangan dengan keyakinan dan batil menurut pandangan, dan tidak boleh menyerang dan mencela dengan celaan yang membuat orang tersebut sakit dan tersiksa perasaannya, dan tidak boleh memakai sarana-sarana pemaksaan untuk mengeluarkan mereka atau melarang mereka dari mengemukakan pendapat atau melakukan amalan-amalan mereka.

Dan asas ini terkandung dalam banyak ayat Al-Qur’an diantaranya, “Dan janganlah kalian mencela orang-orang yang berdo’a kepada selain Allah, yang menyebabkan mereka mencela Allah dengan permusuhan dengan tanpa ilmu. Demikianlah Kami menghiasi untuk setiap umat amalan mereka, lalu Dia mengabarkan kepada apa yang mereka lakukan”. (QS. Al-An’am:108)

Saling tolong menolong
Tabiat manusia adalah makhluk sosial, karena tak ada seorang pun yang mampu hidup sendiri, tanpa bergaul dengan saudaranya. Dengan bermuamalah antar manusialah akan sempurna pemanfaatan dan kegunaan. Disana banyak sekali kebutuhan seorang individu yang tak akan mampu dipenuhinya sendiri. Bahkan Islam tidak sekedar mengesahkan asas ini sebagai asas dalam hubungan antar manusia, tapi lebih jauh lagi Islam menentukan bahwa hamba selamanya bergantung kepada pertolongan Allah SWT, dia mengakui hal ini atau pun tidak mengakuinya. Dan Islam mengaitkan pertolongan ini dengan saling tolong menolong hamba antar mereka. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Dan Allah selalu menolong seseorang selama orang tersebut selalu menolong saudaranya”. (HR. Muslim).

Menepati janji
Menepati janji mencakup seluruh janji dalam hal yang baik. Dia merupakan jaminan untuk kelangsungan unsur kepercayaan dalam saling tolong menolong antar manusia. Bila hal ini hilang dari suatu masyarakat, maka bisa jadi masyarakat akan hancur dan rusak.

Melanggara janji merupakan satu tanda dari kemunafikan. Nabi SAW bersabda: “Tanda orang munafik itu ada tiga; bila berbicara dia berbohong, bila berjanji dia melanggarnya dan bila diberi amanat dia mengkhianatinya”.

Inilah sepuluh asas diantara asas-asas hubungan kemanusiaan yang ditawarkan oleh Islam. Walaupun pada sepuluh hal ini, tapi dengan melaksanakan sepuluh asas ini saja sudah dapat dibangun masyarkat yang kuat, berbarakah dan penuh keharmonisan, kebahagiaan dan kedamaian.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar